Pelaku bisnis juga akan cenderung menempuh efisiensi supaya keberlanjutan usaha bisa dipertahankan lebih lama di tengah kekalutan pasar yang meningkat buntut dari ketegangan di Timur Tengah yang meletus bahkan ketika perekonomian sudah begitu terbebani rezim bunga global yang mahal.
Bunga Kredit Naik
Masyarakat Indonesia telah merasakan dampak dari pengetatan moneter yang telah dilangsungkan sejak Agustus 2022 itu. Belanja rumah tangga berkurang sepanjang tahun lalu, hanya tumbuh 4,82%. Inflasi inti yang menjadi salah satu ukuran tingkat permintaan (daya beli) dalam perekonomian, semakin melemah bahkan sempat menyentuh level terendah dalam dua tahun seperti di masa pandemi masih belum mereda.
Sementara Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) perbankan masih naik sampai Januari lalu ke kisaran 8,83%, berdasarkan asesmen terakhir Bank Indonesia pada Maret.
Kenaikan SBDK itu karena peningkatan Harga Pokok Dana untuk Kredit (HPDK) atau cost of fund yang melonjak 20 basis poin menjadi 3,67% akibat normalisasi kondisi likuiditas pascapandemi dan efek tunda dari kenaikan BI Rate pada Oktober lalu.
Suku bunga kredit baru pada Januari juga terindikasi naik ke kisaran 10,09%. Sementara Rata-Rata Bergerak (RRB) tiga bulan suku bunga kredit baru bahkan naik hingga 13 bps menjadi 9,86% terutama di bank daerah dan BUMN.
Bank Indonesia mengerek bunga acuan pada Agustus 2022 yaitu dari 3,5% menjadi 3,75% untuk mengendalikan inflasi akibat keputusan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada September, buntut dari lonjakan harga minyak dunia dan komoditas menyusul pecah perang Ukraina dan Rusia.
Selama Agustus-Januari 2023, BI Rate tidak berhenti mendaki dengan total kenaikan 225 basis poin. Bank sentral kemudian mempertahankan BI Rate selama sembilan bulan berturut-turut sampai akhirnya memutuskan kenaikan bunga acuan secara mengejutkan pada Oktober tahun lalu ketika rupiah terpukul nyaris menjebol Rp16.000/US$. Total kenaikan BI Rate menjadi 250 bps dan kini bertahan di 6% selama lima bulan beruntun.
Inflasi pada akhirnya memang melandai dengan pengetatan moneter yang dilangsungkan bank sentral. Inflasi yang sempat menyentuh 5,95% pada bulan ketika harga BBM naik, berhasil ditekan ke level terendah di 2,23% pada September tahun lalu atau setahun setelahnya.
Inflasi Pangan Tak Jinak
Namun, penting dicatat bahwa pengetatan moneter itu tidak berhasil menjinakkan inflasi harga pangan bergejolak (volatile food). Inflasi harga pangan malah semakin melejit naik hingga menyentuh level 10,33% pada Maret lalu, tertinggi sejak BI rate dinaikkan pada Agustus 2022.
Faktor El Nino menjadi kambing hitamnya kali ini. Bahkan ketika pemerintah merespon dengan menggelontorkan bantuan sosial (bansos) El Nino, inflasi harga pangan masih begitu ganas.
Sementara pergerakan rupiah selama BI Rate dikerek naik memang lebih stabil meski hanya bertahan sampai semester 1-2023. Sebagai gambaran, selama periode Agustus 2022 pasca BI rate naik sampai setahun setelahnya, rupiah bergerak rata-rata di kisaran Rp15.168/US$ dengan titik terkuat terjadi pada 22 Desember 2022 di posisi Rp14.668/US$.
Situasi itu bertahan sampai Juni tahun lalu. Setelah itu, rupiah kembali terlempar ke level lemah sejak semester II-2023 dan memuncak pada Oktober di Rp15.940/US$ yang akhirnya direspon kenaikan BI rate.
Bila BI Rate Naik Lagi...
Kini, rupiah semakin di ujung tanduk bahkan dicemaskan akan semakin terpuruk ke Rp16.500/US$ mendekati level terlemah sepanjang masa yang terjadi ketika pandemi Covid-19 pecah.
Dorongan pada BI agar mengerek bunga acuan semakin kuat karena rupiah yang semakin jatuh juga bisa memicu inflasi semakin tinggi akibat kegiatan importasi barang (imported inflation). Harga mi instan sampai terigu dan tempe juga tahu bisa ikut naik kala dolar AS semakin menggila.
Yang lebih runyam, pecah perang antara Israel dan Iran dapat melesatkan harga minyak dunia. Ujung-ujungnya harga BBM bisa makin mahal ketika keuangan negara semakin kewalahan menanggung selisih subsidi. Meski pemerintah telah memberi jaminan tidak akan ada kenaikan harga BBM sampai Juni nanti, tensi konflik yang terus panas menempatkan keuangan negara dalam situasi riskan.
Simalakama ini yang dihadapi perekonomian Indonesia di tahun terakhir era kepemimpinan Presiden Joko Widodo setelah 10 tahun berkuasa.
Pengangguran Bisa Meningkat
Bagi masyarakat kebanyakan, pengetatan moneter lebih jauh sudah pasti akan memberatkan keuangan yang sudah berat. Fenomena 'mantab' alias makan tabungan bisa kian jamak.
Dua bulan pertama tahun ini, nilai tabungan masyarakat bawah dengan saldo di bawah Rp100 juta telah berkurang Rp25 triliun atau turun 2,4%, yang terdalam dibanding kelompok nominal di atasnya. Penurunan nilai saldo merata terjadi di simpanan nasabah dengan saldo di bawah Rp1 miliar, berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan per Februari 2024.
Hal itu dapat menjadi cerminan bahwa bukan hanya masyarakat kelas bawah saja yang tertekan dengan mengurangi simpanan mereka di bank untuk membiayai pengeluaran. Tekanan juga dialami oleh kalangan menengah.
Tidak mengejutkan bila ekspektasi terhadap kondisi ekonomi enam bulan ke depan turut terjatuh ke level terendah sejak November 2023 lalu, berdasarkan hasil Survei Konsumen terbaru yang dirilis BI awal pekan ini.
Masih di level optimistis akan tetapi semakin melemah. Penurunan ekspektasi itu terutama akibat keyakinan yang semakin kecil terhadap ketersediaan lapangan kerja ke depan juga kondisi penghasilan. Kegiatan usaha juga diperkirakan semakin lesu enam bulan ke depan.
Kekhawatiran itu dirasakan merata oleh semua kelompok ekonomi. Masyarakat dengan pengeluaran Rp1 juta-Rp2 juta mencatat penurunan Indeks Ekspektasi Konsumen terdalam hingga 6,2 bps. Penyebabnya, kondisi penghasilan enam bulan ke depan diperkirakan semakin terpuruk, ditambah ketersediaan lapangan kerja yang masih sempit juga kegiatan usaha yang diprediksi semakin lesu.
Penurunan ekspektasi terdalam juga dicatat oleh kelompok menengah dan atas. Masyarakat dengan pengeluaran Rp3,1 juta-Rp4 juta dan mereka yang memiliki pengeluaran di atas Rp5 juta per orang per bulan, anjlok ekspektasinya masing-masing 3,9 bps dan 4 bps.
Kekhawatiran itu tidak berlebihan. Nyatanya, kenaikan BI Rate pada Agustus 2022 lalu juga mempengaruhi lonjakan jumlah penduduk yang menganggur dan masih mencari pekerjaan lebih layak.
Badan Pusat Statistik mencatat, pada Agustus 2022 ketika BI Rate pertama kali naik setelah sekian lama bertahan stabil, jumlah pengangguran dan setengah pengangguran di Indonesia mencapai 16,96 juta orang terdiri atas 8,42 juta orang berstatus sama sekali tidak punya pekerjaan dan 8,54 juta orang berstatus setengah pengangguran yakni mereka yang bekerja kurang dari 35 jam seminggu dan masih membutuhkan pekerjaan lain.
Setahun setelah BI Rate naik, jumlah pengangguran dan setengah pengangguran di Indonesia semakin membludak. Survei Angkatan Kerja Nasional pada Agustus 2023 melaporkan, sebanyak 17,2 juta orang Indonesia tidak memiliki pekerjaan dan masih mencari pekerjaan layak.
Dengan kini BI seolah-olah tidak memiliki pilihan lain, mengerek naik BI Rate sudah pasti akan membuat kehidupan masyarakat kebanyakan semakin berat.
(rui/aji)