Namun, setelah musim perayaan berlalu, masyarakat sepertinya kembali menghadapi kenyataan sesungguhnya. Berdasarkan kelompok penghasilan, masyarakat dengan pengeluaran antara Rp1 juta-Rp2 juta mencatat penurunan Indeks Ekspektasi Konsumen terdalam hingga 6,2 bps. Penyebabnya, kondisi penghasilan enam bulan ke depan diperkirakan semakin terpuruk, ditambah ketersediaan lapangan kerja yang masih sempit juga kegiatan usaha yang diprediksi semakin lesu.
Penurunan ekspektasi terdalam juga dicatat oleh kelompok menengah dan atas. Masyarakat dengan pengeluaran Rp3,1 juta-Rp4 juta dan mereka yang memiliki pengeluaran di atas Rp5 juta per orang per bulan, anjlok ekspektasinya masing-masing 3,9 bps dan 4 bps.
Kelompok menengah paling mencemaskan ketersediaan lapangan kerja ke depan terindikasi dari penurunan Indeks Ekspektasi Ketersediaan Lapangan Kerja yang anjlok 9 bps, terdalam dibanding kelompok pengeluaran lain. Sedangkan kelompok atas paling khawatir dengan kegiatan usaha enam bulan mendatang. Indeks Ekspektasi Kegiatan Usaha kelompok ini anjlok hingga 9,5 bps, paling dalam di antara semua kelompok pengeluaran.
Konsumsi Meningkat
Kedatangan musim perayaan memantik kenaikan alokasi pendapatan masyarakat Indonesia untuk konsumsi pada Maret. Secara umum, proporsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi naik 0,6 poin persentase menjadi 73,6%, sementara alokasi untuk pembayaran cicilan utang turun jadi 9,4% dan alokasi tabungan naik 0,3 poin persentase menjadi 17%.
Kenaikan konsumsi terbesar dicatat oleh kelompok pengeluaran terbawah Rp1 juta-Rp2 juta, yang naik 2,7 poin persentase menjadi 76,6%. Sedangkan kelompok pengeluaran menengah Rp4,1 juta-Rp5 juta memperlihatkan stagnasi konsumsi di mana alokasinya tak berubah tetap sebesar 70,5%.
Kelompok ini malah mencatat kenaikan alokasi untuk pembayaran cicilan utang yang ditengarai memakai porsi tabungan. Indikasinya, alokasi untuk tabungan turun 0,4 poin persentase jadi 17,5% sedang pengeluaran untuk cicilan utang naik menjadi 12%.
Kelompok atas dengan pengeluaran di atas Rp5 juta menjadi satu-satunya kelompok pengeluaran yang mencatat kenaikan tertinggi proporsi pendapatan untuk tabungan yaitu hingga 1,5 poin persentase menjadi 19,4%.
Kenaikan BI Rate
Kejatuhan rupiah yang telah menembus level terlemah sejak April 2020 menaikkan ekspektasi terhadap dikereknya bunga acuan BI rate. Namun, menaikkan lagi BI rate dipastikan akan membuat perekonomian semakin berat.
Daya beli masyarakat bisa kian lesu. Ekspansi pelaku bisnis juga dapat kembali tersendat karena biaya bunga yang mahal tentu mengerem permintaan kredit perbankan meski BI menggerojok perbankan dengan berbagai insentif agar kredit tetap moncer.
Mengeluarkan faktor musiman Ramadan dan Idulfitri, kondisi keuangan masyarakat RI sejatinya sudah berada di level lemah saat ini. Pada Februari lalu, Indeks Penghasilan Saat Ini yang mengukur kondisi keuangan masyarakat Indonesia dibandingkan enam bulan sebelumnya jatuh ke level terendah sejak April 2022.
Kondisi penghasilan yang melemah ditengarai akibat tekanan lonjakan harga komoditas dapur yang masih tak terbendung terutama beras. Hal itu akhirnya mengikis kemampuan belanja masyarakat untuk kebutuhan sekunder dan tersier.
BI telah mengerek bunga acuan sebanyak 250 bps sejak Agustus 2022 hingga kenaikan terakhir Oktober tahun lalu. Sebagai hasil pengetatan moneter tersebut, kinerja konsumsi rumah tangga terpukul dengan pertumbuhan hanya 4,84% pada 2023, melemah dibanding tahun sebelumnya 4,94%. Ketika motor utama ekonomi Indonesia terpukul, pertumbuhan Produk Domestik Bruto pun hanya sebesar 5,05% tahun lalu, turun dari capaian 2022 sebesar 5,31%.
Yang perlu disoroti juga, kenaikan bunga acuan sebanyak itu nyatanya tidak cukup ampuh menaklukkan inflasi harga pangan bergejolak yang mencapai 6,72% pada 2023 lalu. Lonjakan harga beras, mencapai 17,07% pada Desember, juga berbagai komoditas dapur lain perlahan tapi pasti menggerogoti daya beli masyarakat, terutama kelas menengah bawah yang mendominasi populasi akan tetapi tidak tersentuh stimulus bantuan sosial.
Memasuki 2024 ini, tekanan harga beras dan pangan bergejolak masih belum reda. Badan Pusat Statistik melaporkan, inflasi Maret menanjak ke level tertinggi dalam delapan bulan terakhir sebesar 3,05%. Inflasi volatile food juga semakin melesat tinggi sebesar 10,33%, naik dari Februari 8,47%, masih terdampak El Nino dan faktor musiman lonjakan permintaan di bulan Ramadan.
(rui/aji)