Sebagai gambaran adalah, PT Mayora Indah Tbk (MYOR) yang merupakan perusahaan bergerak di bidang pengolahan makanan, dan minuman. MYOR beroperasi sejak tahun 1977, hingga sampai saat ini melanjutkan bisnisnya yang berorientasi ekspor.
Juga PT Selamat Sempurna Tbk (SMSM) yang merupakan perusahaan produsen komponen otomotif yang berfokus pada penjualan ekspor dengan 3 produk utama, yaitu, filter – dengan merek Sakura, produk radiator dengan brand ADR, serta unggulan di karoseri.
Melansir gerak kedua harga saham tersebut, MYOR berhasil menguat di penutupan, meski nilai tukar rupiah melemah ke level terendah sejak 2020. Gerak saham ini terjadi usai ditransaksikan mencapai Rp19,8 miliar dengan volume transaksi sebesar 8,5 juta saham.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia, saham MYOR menutup perdagangan dengan kenaikan 10 poin atau setara 0,44% ke level Rp2.310/saham. Setelah sempat menguat mencapai Rp2.360/saham.
Senada, saham SMSM juga tengah dalam tren naik. Dengan menghijau 40 poin atau sama dengan kenaikan 2,13% ke level Rp1.915/lembar.
Adapun nilai transaksi saham SMSM sepanjang hari terbilang cukup ramai mencapai Rp3,32 miliar setelah sebanyak 1,74 juta saham diperdagangkan. Dengan market cap saham SMSM mencapai Rp11,03 triliun.
Menariknya, perusahaan-perusahaan yang berbasis ekspor tak terbatas hanya perusahaan konsumer, atau kebutuhan sehari-hari, tetapi juga perusahaan komoditas, seperti batu bara, nikel, CPO, dan lain-lain, serta komoditas turunannya.
Dari sisi yang berseberangan, banyak juga saham-saham yang listing di Bursa Efek Indonesia sangat tertekan dengan terus terjadinya pelemahan rupiah, terlebih kepada sejumlah emiten yang memiliki porsi utang menggunakan mata uang dolar.
Tidak hanya utang dengan satuan dolar, obligasi berbasis dolar, emiten-emiten yang beban usaha memerlukan impor, serta emiten dengan beban operasional yang memerlukan dolar, juga ikut 'meringis' lantaran pelemahan rupiah terus terjadi hingga mencetak rekor tahun ini.
Sebagai contoh yang memiliki utang dalam denominasi dolar adalah, PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF), dan PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP), selain itu INDF serta ICBP juga memerlukan impor gandum untuk kebutuhan produksi berbagai produk mereka.
Kemudian, sektoral emiten yang memiliki utang dan/atau beban operasional yang memerlukan dolar adalah properti, otomotif, hingga telekomunikasi.
Misal seperti sebelumnya, PT Indosat Ooredoo Hutchison Tbk (ISAT) yang memiliki kontrak atas kerja sama terhadap Huawei, Nokia, Ericsson, dan ZTE yang menggunakan mata uang dolar. Terbaru, ISAT juga bekerja sama dengan NVIDIA untuk membangun pusat teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) di Indonesia.
Adapun sektoral lain yang juga dirugikan atas terkontraksinya nilai tukar rupiah adalah sektor farmasi. Diketahui bersama, perusahaan membeli bahan baku dengan harga yang lebih mahal dan terlebih-lagi menjadikan biaya atas sejumlah barang impor dapat terus meningkat. Diantaranya PT Kimia Farma Tbk (KAEF), PT Indonesia Farma/Indofarma Tbk (INAF), dan PT Pyridam Farma Tbk (PYFA).
(fad/aji)