“Berdasarkan pengamatan kami, BI mungkin menghabiskan US$ 200-400 juta untuk kebutuhan intervensi hari ini untuk membawa rupiah dari US$ 16.200/US$ menjadi Rp 16.175/US$,” tulis Satria dalam risetnya.
Oleh karena itu, lanjut Satria, sepertinya cadangan devisa akan semakin tergerus. Sebab intervensi di pasar spot memang lebih mahal ketimbang di pasar forward.
“Kontrak forward atau Non-Deliverable Forwards sudah disepakati untuk jangka waktu tertentu. Di Singapura, kontrak NDF tenor 1 tahun sudah memperdagangkan rupiah di Rp 16.407/US$,” tuturnya.
BI pun memberi penjelasan soal kejatuhan rupiah usai libur panjang. Edi Susianto, Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI, menyebut selama libur Idul Fitri banyak perkembangan yang terjadi.
“Rilis data fundamental AS makin menunjukkan bahwa ekonomi mereka masih cukup kuat seperti data inflasi dan retail sales yang di atas ekspektasi pasar. Selain itu terdapat memanasnya konflik di Timur Tengah khususnya konflik Iran-Israel,” tuturnya.
Perkembangan tersebut, menurut Edi, membuat posisi risk-off pelaku pasar makin besar. Akibatnya, mata uang negara-negara berkembang melemah, termasuk rupiah.
“Selama libur lebaran, Dollar Index menguat signifikan dari 104 menjadi 106. Di pasar offshore, NDF juga sudah tembus di atas Rp 16.000 sehingga kemudian rupiah dibuka di sekitar angka tersebut,” jelas Edi.
(aji)