Survei yang sama menemukan bahwa saat ini makin sedikit konsumen di Indonesia yang optimistis harga properti akan bisa naik dalam setahun ke depan, dan kian banyak yang menilai tingkat inflasi serta suku bunga akan terus terkerek.
“Tingginya inflasi membuat responden memilih fokus untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari ketimbang menyusun rencana membeli rumah,” papar laporan tersebut.
Kendati demikian, optimisme kalangan milenial pada retang usia 22—41 tahun terpantau tetap tinggi. Hal itu tecermin dari 7 dari 10 milenial yang disurvei mengaku masih mengalokasikan pendapatannya untuk rencana membeli rumah.
Terkait dengan program rumah subsidi, survei tersebut menunjukkan 2 dari 5 responden merasa tidak memenuhi persyaratan untuk membeli rumah bersubisidi, tetapi tidak cukup mampu untuk membeli hunian nonsubsidi.
Sebanyak 3 dari 5 responden juga merasa program tersebut belum bisa mengatasi masalah keterjangkauan hunian di Indonesia.
“Separuh responden berharap pemerintah memperlonggar syarat rumah subsidi agar lebih banyak orang yang bisa merasakan manfaatnya. Harapan ini terutama datang dari responden kelas menengah yang sudah tak memenuhi syarat penghasilan untuk rumah subsidi, tetapi merasa penghasilannya masih terlalu kecil untuk membeli atau mencicil rumah nonsubsidi,” tulis laporan tersebut.
Di sisi lain, 8 dari 10 responden mengaku tidak keberatan dengan apartemen bersubsidi dengan jangka waktu kepemilikan 60 tahun. Dengan catatan, unitnya memiliki dua kamar tidur dan dekat dengan transportasi umum.
Menurut mayoritas responden, harga yang cocok untuk apartemen subsidi dengan kriteria tersebut adalah tidak lebih dari Rp200 juta. Hanya 1 dari 4 responden yang tidak keberatan dengan harga tidak lebih dari Rp400 juta.
Sebelumnya, para pengembang rumah bersubsidi mengusulkan kenaikan harga rumah subsidi di rentang 7%—10% kepada pemerintah. Meski demikian, jika keputusan kenaikan hanya sekitar 5%, pengembang mengaku sudah cukup terbantu.
Sekretaris Jenderal DPP Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Daniel Djumali mengatakan kenaikan harga rumah subsidi mendesak karena sudah tiga tahun dua bulan terakhir belum ada penyesuaian.
“Ini lebih kepada penyesuaian harga karena sudah lama, 2022 tidak naik. 2021, 2022, juga belum [penyesuaian harga],” ujarnya kepada Bloomberg Technoz, pengujung Februari.
(wdh)