Logo Bloomberg Technoz

Sehubungan dengan produksi, BMI memproyeksikan produksi China Daratan (Mainland Chinese), setelah dua musim penurunan berturut-turut, akan meningkat sebesar 3,0% yoy dari 145 juta ton menjadi 149,4 juta ton pada tahun 2024—2025, bergantung pada kondisi cuaca normal.

“Kami juga yakin bahwa peralihan dari peristiwa El Nino saat ini ke kondisi La Nina, yang menurut Pusat Prediksi Iklim Amerika Serikat atau US Climate Prediction Center (CPC) mungkin terjadi 62% antara Juni dan Agustus 2024, akan mendukung produksi beras yang lebih tinggi di sebagian besar wilayah Asia Tenggara,” papar BMI. 

Demikian pula, hilangnya kondisi El Nino menguntungkan seiring dengan curah hujan monsun tahunan di India, dengan prakiraan pertama untuk monsun pada 2024 volume curah hujan normal.

Permintaan Stabil

Dari sisi permintaan pasar, BMI memperkirakan volume konsumsi di China dan India akan tetap stabil pada tahun 2024—2025, setelah kedua negara tersebut menunjukkan pertumbuhan di atas tren selama pandemi, sehingga akan mengurangi dampak fluktuasi di pasar-pasar yang lebih kecil pada total volume konsumsi dunia. 

Beras putih./Bloomberg-Veejay Villafranca

Berdasarkan data Departemen Pertanian Amerika Serikat atau US Department of Agriculture (USDA), rasio stok terhadap penggunaan beras dunia - tidak termasuk China - diperkirakan akan turun ke level terendah dalam lima musim sebesar 16,2% pada akhir musim 2023—2024, yang diperkirakan akan berbalik pada tahun 2024—2025. 

“Namun dalam hal risiko, kami mencatat bahwa rasio stok terhadap penggunaan beras dunia [tidak termasuk China] rata-rata sebesar 16,1% per akhir musim selama 2010an. Dengan demikian, posisi pasar selaras dengan norma-norma historis saat ini.”

BMI memproyeksikan harga beras akan kembali turun pada 2026, dengan perkiraan harga rata-rata sebesar US$15,65/cwt. 

Setelah itu BMI mengatakan harga akan kembali ke tren kenaikan, dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 1,5% per tahun pada tahun 2027 dan 2028.

Proyeksi Harga Beras BMI: 

  • 2024f : US$16,5/cwt
  • 2025f : US$15,85/cwt
  • 2026f : US$15,65/cwt
  • 2027f : US$15,89/cwt
  • 2028f : US$16,12/cwt
Suasana di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) Jakarta Timur, Senin(12/2/2024). (Bloomberg Technoz/Dovana Hasiana)

Tantangan Pasar

Namun, BMI memberikan 2 tantangan yang bakal menghambat proyeksi harga tersebut.

Pertama, pembatasan perdagangan. Dibandingkan dengan biji-bijian pangan utama lainnya, volume ekspor beras relatif kecil dibandingkan dengan produksi dunia, sehingga menjadikan pasar internasional sensitif terhadap pemberlakuan pembatasan perdagangan seperti yang telah dijelaskan pada krisis harga beras global pada tahun 2007—2008 dan saat ini periode pembatasan ekspor beras India. 

Pada kedua periode tersebut, peningkatan harga beras dalam negeri – yang sebagian besar disebabkan oleh meningkatnya pengalihan ke pasar ekspor mengingat tingginya harga beras internasional – mendorong pemerintah untuk menerapkan pembatasan perdagangan untuk menstabilkan pasokan beras dalam negeri, yang merupakan bahan makanan pokok yang sangat penting. 

Kedua, kondisi cuaca. Padi merupakan tanaman yang membutuhkan banyak air, sehingga volume penanaman dan panen sangat sensitif terhadap kondisi curah hujan. 

Akibatnya, dua peristiwa cuaca besar di Asia yang dapat berdampak besar terhadap ekspektasi panen adalah pola iklim El Nino-Southern Oscillation (ENSO) dan monsun tahunan India. 

Pola iklim ENSO berdampak pada tingkat curah hujan di Asia Tenggara, dengan kejadian El Nino yang berhubungan dengan curah hujan di bawah rata-rata dan kejadian La Nina yang berhubungan dengan curah hujan di atas rata-rata. 

Pada 2024, CPC memperkirakan peristiwa El Nino saat ini akan mereda pada April—Juni 2024 dan kondisi La Nina akan terkonfirmasi pada bulan Juni-Agustus 2024. 

Sementara itu, monsun India yang cenderung mulai terjadi pada bulan Juni dan berakhir pada September, memberikan 70%—90% total curah hujan tahunan di India. 

“Oleh karena itu, sangat penting bagi prospek sektor pertanian pada musim tertentu. Terlebih lagi, dalam beberapa musim terakhir, gelombang panas yang berkepanjangan di China daratan bagian tenggara telah menjelaskan ancaman negatif perubahan iklim.”

(dov/wdh)

No more pages