Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta - Nilai tukar rupiah terus melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sepanjang tahun berjalan 2024. Kurs acuan Bank Indonesia yaitu Jakarta Interbank Spot Dollar Rate pada 5 April 2024, penutupan perdagangan sebelum Libur Idul Fitri 1445 H, ada di Rp15.873, dari sebelumnya Rp15.439 pada penutupan tahun 2023.

Tekanan terhadap nilai tukar rupiah memang terus bergulir sepanjang tahun dengan sentimen eksternal jadi pendukung utama pelemahan rupiah, Jumat (12/4/2024). Terbaru, rilis data ekonomi Amerika Serikat (AS) mencatatkan inflasi inti Indeks Harga Konsumen (Consumer Price Index/CPI) meningkat 0,4% dari bulan Februari, melampaui perkiraan selama tiga bulan berturut-turut.

Informasi Kurs JISDOR pada hari Selasa, 27 Februari 2023 (Sumber Bank Indonesia)

Bila pasar dalam negeri, atau BI melangsungkan perdagangannya hari ini, ada potensi rupiah akan melanjutkan tren pelemahan. Mencermati lebih lanjut, sinyal pelemahan rupiah hari ini sudah mulai terasa, setelah perdagangan di pasar forward. Kontrak Non Deliverable Forward (NDF) rupiah 1 bulan sudah ambles ke level Rp16.030/US$ di pasar New York, Amerika, kemarin.

Pagi ini rupiah di pasar NDF, mengutip Bloomberg, serta Investing juga sudah melemah menembus Rp16.060/US$.

Tekanan pada rupiah diprediksi masih akan berlanjut akibat dolar AS yang semakin perkasa melanjutkan penguatannya sejak awal tahun. Ini merupakan sinyal paling pasti dari pandangan Bank Sentral Amerika Serikat atau The Fed yang akan semakin panjang ‘Higher for Longer’ dalam hal mempertahankan suku bunga acuan pada level tertinggi dalam dua dekade.

Anna Wong dan Stuart Paul, analis Bloomberg Economics menambahkan bahwa Bank Sentral kemungkinan akan mengambil sinyal yang lebih ‘Kuat’ bahwa momentum disinflasi melambat dari laporan ini.

"Kami memundurkan ekspektasi kami untuk penurunan suku bunga pertama ke bulan Juli, dari perkiraan sebelumnya di bulan Juni," tulis mereka dalam sebuah catatan, belum lama ini.

Pada waktu yang sama, Gubernur Federal Reserve Bank of Atlanta Raphael Bostic kembali menegaskan ekspektasi suku bunga acuan hanya akan terjadi sekali tahun ini. Ia menyoroti kekuatan yang amat kokoh pada ekonomi AS, dan pasar tenaga kerja dalam sebuah wawancara di Yahoo Finance Live.

Bahkan, Gubernur The Fed Atlanta ini sebelumnya mengatakan The Fed akan mengurangi suku bunga acuan pada kuartal keempat.

Dollar Index DXY (Sumber: Bloomberg)

Kekhawatiran ini membawa tekanan kepada nilai tukar rupiah, yang juga memberikan tekanan kepada emiten yang melantai di Bursa Efek Indonesia.

Khususnya kepada emiten yang memiliki utang dalam berdenominasi dolar AS antara lain saham-saham yang bergerak di sektor properti, PT Pakuwon Jati Tbk (PWON), PT Summarecon Agung Tbk (SMRA), PT Modernland Realty Tbk (MDLN), dan PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN). Dengan itu, nilai utang Perusahaan akan meningkat seiring dengan pelemahan rupiah terhadap dolar AS.

Selanjutnya sektor yang dirugikan atas terkontraksinya nilai tukar rupiah adalah sektor farmasi, industri yang 90% bahan bakunya masih tergantung dari impor tersebut akan membeli bahan baku dengan harga yang lebih mahal, dan menjadikan biaya-biaya terus meningkat dalam kinerja keuangannya.

Emiten-emiten yang bergerak di sektor industri farmasi diantaranya PT Kimia Farma Tbk (KAEF), PT Indonesia Farma/Indofarma Tbk (INAF), PT Kalbe Farma Tbk (KLBF), PT Soho Global Health Tbk (SOHO), dan PT Phapros Tbk (PEHA).

Jika mencermati pergerakan indeks sektoral, sektor properti tercatat anjlok mencapai 8,97% dalam data statistik Bursa Efek Indonesia di sepanjang tahun 2024 (Year to Date/YtD), dan juga sektoral saham-saham farmasi, atau kesehatan yang melemah 0,33%.

Secara pergerakan harga sahamnya, PT Kimia Farma Tbk (KAEF) ambles dengan anjlok mencapai 38,06% YtD ke posisi Rp895/saham. PT Phapros Tbk (PEHA) drop 18,75% ke posisi Rp520/saham, dan PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) melemah 8,07% ke posisi Rp1.480/saham.

Lebih dalam, pergerakan harga saham INAF tertekan 56,9% di sepanjang tahun 2024 ini mengarah ke posisi Rp250/saham seiring depresiasi rupiah.

Sama halnya dengan pergerakan harga saham MDLN yang juga ambles 19,35% YtD hingga akhirnya parkir dan menetap di posisi ‘Gocap’ atau Rp50/saham. Hal ini mengindikasikan pelaku pasar cenderung wait and see terhadap emiten-emiten yang memiliki utang dalam berdenominasi dolar AS, juga beban biaya dalam hal impor.

(fad/wdh)

No more pages