Kedua, amanat tersebut juga tertuang dalam peraturan teknis yakni Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
“Sayangnya kebijakan tersebut tidak terlaksana dengan baik sehingga pemerintah memberikan waktu terus-menerus, [ini] merupakan inkonsistensi peraturan pelaksanaan pembangunan smelter,” ujar Iwa.
“Inkonsistensi bahkan dilakukan penghilangan kata pemurnian dalam PP No 1 Tahun 2017 serta terkait dengan sub delegasi pengaturan peningkatan nilai tambah dari UU Minerba ke Peraturan Menteri ESDM tidak sesuai dengan yang ditentukan oleh Pasal 103 UU Minerba.”
Iwa mengatakan, perkembangan investasi smelter terhambat dan merugikan ekonomi Indonesia akibat inkonsistensi dari pemerintah dan ketidakpatuhan perusahaan.
Iklim Investasi Smelter
Iwa mengatakan pemegang IUP dan IUPK memiliki kendala dalam membangun smelter, sebab pemerintah belum mampu menciptakan iklim investasi yang kondusif pada bidang pertambangan.
Terlebih, perlindungan hukum menjadi aspek penting dalam kegiatan usaha. Dengan demikian, perbaikan pada peraturan terkait pembangunan smelter diperlukan untuk menciptakan kepastian pagi pelaku usaha.
“Sebaiknya segera pemerintah dan DPR untuk melakukan revisi UU No. 4/2009 tentang Mineral dan Batu Bara yang kemudian dengan harapan peraturan di bawahnya dapat selaras dan dapat terciptanya kepastian hukum. Dampaknya, iklim penanaman modal kondusif di bidang pertambangan khususnya industri smelter,” ujar Iwa.
Operasi Ngaret
Di sisi lain, Presiden Direktur PT Freeport Indonesia (PTFI) Tony Wenas mengatakan smelter Manyar bakal rampung pada Mei dan beroperasi pada Juni 2024. Namun, proses produksi tembaga baru dapat dilakukan pada awal Agustus.
Hingga saat ini, kemajuan pembangunan smelter katoda tembaga single line terbesar di dunia tersebut mencapai 94%.
“Mei selesai, Juni operasi tetapi belum produksi. Nanti konsentrat di-feeding ke dalam situ baru sekitar awal Agustus, sehingga akhir Agustus baru keluar katoda tembaga,” ujar Tony saat ditemui di Jakarta, Rabu (10/4/2024).
Bos Freeport Indonesia itu mengatakan kapasitas produksi konsentrat tembaga bakal sebesar 50% pada Agustus 2024 atau berkisar 850.000 ton dan bakal meningkat hingga 1,7 ton serta menghasilkan 600.000 ton katoda tembaga pada akhir 2024.
“Iya [850.000 ton] konsentrat yang diproses, katoda tembaga 1 tahun kan 600.000 ton ya, tetapi itu kan 1 tahun penuh,” ujar Tony.
Sebelumnya, padahal, Tony mengatakan pabrik katoda tembaga terbesar di dunia itu bakal beroperasi penuh pada Mei 2024, sesuai dengan syarat perpanjangan IUPK Freeport.
"Progresnya per Agustus sudah 78%. Kami yakin Mei 2024 selesai, sudah mulai bisa beroperasi," ujar Tony saat wawancara bersama Bloomberg Technoz, Kamis (14/9/2023).
Dalam sebuah kesempatan pertengahan Desember, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengisyaratkan pemerintah bisa saja kembali mengizinkan Freeport mengekspor konsentrat tembaga melewati tenggat Mei 2024, tetapi dengan syarat.
Dia menggarisbawahi anak usaha raksasa tambang asal Amerika Serikat (AS), Freeport-McMoRan Inc, itu mesti tunduk pada aturan maupun sanksi yang berlaku di Tanah Air.
"Relaksasi dapat diberikan, tetapi ada kompensasi yang mereka harus bayar kepada negara," ujarnya.
Bahlil mengatakan aturan kompensasi tersebut sedianya telah ditegaskan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan juga Kementerian Keuangan, tanpa mendetailkan klausul mana yang dimaksud.
"Saya yakinkan bahwa pengusaha harus diatur oleh negara lewat aturan. Pengusaha harus diatur oleh negara lewat aturan. Jadi gaya-gaya lama enggak bisa lagi. Kalau mau ekspor, oke, tetapi you kenakan kompensasi yang harus ada negara dapat dari ekspor," ujar Bahlil.
(dov/wdh)