Industri, jelas Subandi, harus menyesuaikan kegiatan produksi dengan cuti yang disediakan pemerintah dan perusahaan, sembari di satu sisi mereka harus menyiapkan dana yang cukup besar untuk membayar tunjangan hari raya (THR) karyawan.
"Jadi kalau bicara biaya, sudah dipastikan mengalami pembengkakan termasuk biaya logistik akibat barang tertahan di pelabuhan dan lain-lain," tegasnya.
Menyikapi momentum positif kinerja manufaktur yang terjadi pada Maret, di mana industri mencatatkan Purchasing Manager's Index (PMI) tertinggi dalam 2,5 tahun terakhir, Subandi justru menyampaikan para importir masih kerap kali mengalami kendala dalam memenuhi permintaan pasar akibat terkendalanya regulasi yang belum tersosialisasi dengan baik oleh pemerintah.
"Akibat[nya] pelaku usaha importasi juga masih banyak yang mengalami kendala memenuhi permintaan klien maupun pasar [industri]," tegasnya.
Sebelumnya, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menjelaskan PMI manufaktur Indonesia pada Maret berada di level tertinggi selama 2,5 tahun.
Sementara itu, indeks ini berasal dari laporan S&P Global yang mencatat PMI Manufaktur pada Maret berada di level 54,2 atau naik 1,5 poin dibanding capaian Februari yang menyentuh angka 52,7.
Tak hanya itu, kinerja PMI manufaktur Indonesia pada Maret 2024 menurut Agus lebih baik dibandingkan PMI manufaktur negara-negara lain seperti; Malaysia 48,4, Thailand 49,1, Vietnam 49,9, Jepang 48,2, Korea Selatan 49,3, Jerman 41,6, Prancis 45,8, serta Inggris di 49,9.
(prc/wdh)