Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta – Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GP Farmasi) mulai waswas dengan perkembangan depresiasi nilai tukar rupiah, yang dipastikan bakal menekan sektor industri yang 90% bahan bakunya masih tergantung dari impor tersebut.

Direktur Eksekutif GP Farmasi Elfiano Rizaldi mengatakan pelaku industri farmasi terus mencermati perkembangan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS), dan berharap situasi pelemahan mata uang Garuda tidak berkepanjangan.

“Pasti akan ada efek dan dampaknya. Efeknya ke farmasi itu —jika pelemahan rupiah ini berkelanjutan dan bertahan lama— akan berdampak kepada industri farmasi karena saat ini masih impor 90% bahan baku,” ujarnya kepada Bloomberg Technoz, akhir pekan.

Bahan Baku Lokal

Terkait dengan masih tingginya ketergantungan impor untuk bahan baku industri farmasi, Elfiano mengatakan sebenarnya pelaku sektor tersebut sudah mulai menjalankan program substitusi bahan baku impor dengan material lokal. 

Hanya saja, dia tidak menampik, masih banyak jenis obat yang bahan bakunya belum diproduksi di dalam negeri. “Obat saja yang diproduksi dalam negeri. Itu untuk di luar vaksi, masih ada kurang lebih 10 jenis bahan baku yang diproduksi di dalam negeri,” terangnya. 

Pekerja mengemas Tolak Angin sachet di pabrik PT Industri Jamu Dan Farmasi Sido Muncul di Semarang, Jawa Tengah. (Dimas Ardian/Bloomberg)

Artinya, kata Elfiano, kebutuhan-kebutuhan untuk produk Atorvastatin, Clopidogrel, dan Amlodipin sudah di produksi di dalam negeri, meski peraturan di industri farmasi untuk memproduksi bahan-bahan tersebut sangatlah ketat. 

“Jadi perubahan apapun terhadap baku maupun bahan tambahan obat harus dilakukan reformulasi. Kemudian, dilakukan namanya uji bioekivalen dan bio ability, jadi harus diuji lagi BA dan BE nya. Untuk pengujian itu, industri farmasi memerlukan sekitar 6 bulan, namanya uji stabilitas,” jelasnya.

Pemenuhan persyaratan tersebut, kata Elfiano, harus dikawal ketat oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Setelah pengujian, dalam rentang 6 bulan, pelaku industri harus kembali melakukan uji laboratorium dan sebagainya.

Jika setelah itu terbukti memenuhi syarat, baru pelaku industri mengajukan laporan hasil uji BA dan BE kepada BPOM. Badan tersebut lantas akan menilai apakah hasil pengujian tersebut layak atau tidak. 

"BPOM akan memberikan nomor izin edar baru. Untuk mendapatkan nomor izin edar baru, perlu lah ada perubahan regulasi, perubahan zat aktif bahan bakunya. Itu di BPOM kita juga butuh waktunya 5—6 hari sendiri,” ujarnya. 

“Itu minimal ya, totalnya saja sudah 12 bulan. Bisa 13 bulan kalau dianggapnya hasilnya semua memenuhi syarat. Kalau gagal, kita ulang lagi. Ulang lagi bisa enak bulan lagi, mulai lagi. Jadi perubahan zat aktif, zat penolong, itu industri farmasi harus melakukan langkah-langkah tersebut.”

Atas latar belakang tersebut, Elfiano menerangkan industri farmasi baru bisa menggunakan bahan baku produksi lokal jika spesifikasinya memang sudah memenuhi persyaratan BPOM, yang notabene membutuhkan proses yang panjang. 

“Nah apalagi di obat, jika tiika memenuhi syarat sama sekali, BPOM tidak bisa mengeluarkan izin edar. Itu dari speknya,”  papar Elfiano.

“Setelah speknya masuk, kita harus memastikan kapasitas produksi bahan baku lokalnya cukup atau tidak untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Kalau tidak cukup, kan jadi susah industri farmasinya. Jadi harus menggunakan bahan baku impor dan satu bahan baku lokal.” 

Dia tidak menampik kendala lain substitusi impor adalah harga bahan baku lokal yang cenderung lebih mahal dibandingkan dengan bahan baku impor, dipicu oleh kapasitas produksi yang masih terbatas.

“Memang pasti akan lebih mahal, tetapi jangan terlalu mahal,” ujarnya.

(wdh)

No more pages