Pada 2023, penurunan cadev berlangsung selama kuartal II dan pada periode Agustus-Oktober. Selama tiga bulan kedua tahun lalu, cadev terkuras US$7,64 miliar dengan penurunan pada bulan Mei menjadi terbesar mencapai US$4,88 miliar dalam sebulan saja.
Setelah itu posisi cadangan devisa sempat naik tipis pada Juli sebesar US$133 juta. Akan tetapi, memasuki Agustus tekanan kembali besar dan menguras cadangan devisa. Pada September 2023, nilai cadev bahkan anjlok US$2,23 miliar. Itupun berlanjut pada Oktober. Selama tiga bulan itu, nilai cadangan devisa RI terkuras US$4,53 miliar.
Sehingga, bila menggaris selama 2023, penurunan cadev total mencapai US$9,4 miliar. Namun, rupiah masih terus tertekan nyaris menjebol level psikologis dan akhirnya BI memutuskan mengerek bunga acuan pada Rapat Dewan Gubernur sebesar 25 bps pada Oktober.
Setelah langkah dramatis itu, nilai cadangan devisa baru kembali mencatatkan kenaikan pada dua bulan terakhir 2023 senilai US$13,24 miliar. Sementara nilai tukar rupiah pada tahun lalu berhasil ditutup menguat di Rp15.397/US$, membukukan return sebesar 1,13% dibandingkan dengan level penutupan 2022, dan menjadi salah satu yang terbaik di Asia.
Tekanan Kembali Besar
Kini, rupiah menghadapi situasi yang mirip, bahkan mungkin lebih rumit. Rupiah sempat menyentuh level terlemah dalam empat tahun terakhir pada awal pekan ini di kisaran Rp15.963/US$. Tekanan jual pemodal asing yang besar terutama di pasar surat utang menjadi salah satu pemicu utama.
Tren jual itu sejauh ini masih belum sepenuhnya mereda meski melihat data terakhir per 3 April lalu, asing mulai mencatat net buy Surat Berharga Negara (SBN) sebesar US$110,71 juta. Pemodal asing masih mencatat posisi net sell di SBN sebesar Rp33,3 triliun sampai data setelmen 27 Maret.
Selain itu, faktor musiman peningkatan permintaan dolar AS sejatinya baru dimulai bulan-bulan ke depan. Nilai dividen korporasi yang dibagikan pada investor asing diperkirakan mencapai US$2,4 miliar dalam tiga bulan ke depan. Faktor lain yaitu kenaikan nilai utang luar negeri jatuh tempo yang cukup besar saat ini.
Nilai utang luar negeri RI yang jatuh tempo dalam waktu kurang dari setahun per Januari lalu mencapai US$70,7 miliar, tertinggi sejak 2013 lalu menurut data yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia.
Belum lagi risiko kenaikan nilai impor BBM akibat lonjakan harga minyak, buntut krisis geopolitik Timur Tengah yang memanas ketika harga dolar AS tengah kuat.
Pada saat yang sama, selera berinvestasi para investor asing sepertinya masih tertahan karena kekhawatiran terhadap perubahan kebijakan pengelolaan fiskal di bawah pemerintahan baru.
"Ketidakpastian mengenai prospek politik menyebabkan beberapa perusahaan memilih memulangkan pendapatan mereka ketimbang menginvestasikannya kembali di dalam negeri," kata Bahana Sekuritas dalam risetnya beberapa waktu lalu.
Analisis terbaru perusahaan investasi asal Inggris, Barclays, menilai, ada potensi kenaikan BI rate yang cukup signifikan dalam Rapat Dewan Gubernur 24 April nanti, setelah libur panjang Lebaran berakhir.
"Kami melihat potensi signifikan kenaikan BI rate sebesar 25 bps menjadi 6,25% apabila rupiah terus berlanjut mendekati Rp16.000/US$," demikian dilansir dari Bloomberg News sebelum data cadangan devisa terbaru dipublikasikan oleh bank sentral.
Barclays melihat, dalam jangka pendek mungkin mata uang emerging market akan sedikit 'bernafas lega' terutama yang diuntungkan oleh kenaikan harga komoditas logam dan minyak. "Kami perkirakan ada jeda [pelemahan] sebelum terjadi penguatan dolar AS lebih lanjut," kata Barclays yang lebih merekomendasikan mata uang negara-negara kawasan Amerika Latin sejauh ini.
Rupiah bergerak menguat dalam perdagangan siang pada hari terakhir bursa sebelum libur panjang Lebaran pekan depan. Pairing USD/IDR di pasar spot diperdagangkan di Rp15.845/US$ pada pukul 11:39 WIB, mencerminkan penguatan nilai rupiah 0,3% dibanding level penutupan hari sebelumnya. Indeks dolar AS masih bergerak menguat ke 104,31.
(rui/aji)