Korps Adhyaksa tersebut menuduh, Harvey Moeis atau HM sebagai orang yang mengakomodir kegiatan pertambangan liar di wilayah Izin Usaha Tambang (IUP) PT Timah Tbk.
"Tersangka HM ini menghubungi direktur utama PT Timah, yaitu saudara MRPT alias saudara RS, dalam rangka untuk mengakomodir kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah," kata Direktur Penyidikan Jampidsus Kuntadi di Kantor Kejaksaan Agung, Rabu (27/3/2024).
Bahkan, kejaksaan mengklaim mempunyai sejumlah bukti yang bisa menunjukkan proses keterlibatan Harvey tersebut melalui sejumlah catatan pertemuannya dengan mantan Direktur Utama PT Timah Tbk, Moch Riza Pahlevi Tabrani (MRPT). Hingga tercipta kesepakatan dalam rangkaian praktek korupsi tata kelola tersebut.
"Kegiatan akomodir pertambangan liar tersebut, akhirnya dicover dengan kegiatan sewa-menyewa peralatan, atau prosessing peleburan timah," ujar Kuntadi.
Usai kesepakatan dengan Riza Pahlevi, Harvey dituduh kemudian mengajak beberapa perusahaan untuk turut terlibat dalam kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah. Beberapa di antaranya adalah perusahaan yang petingginya juga sudah menjadi tersangka dan ditangkap kejaksaan.
"Selanjutnya tersangka HM ini menghubungi beberapa Smelter, yaitu PT SIP, CV VIP, PT SBS, dan PT TIN untuk ikut serta dalam kegiatan yang dimaksud," kata Kuntadi.
Dalam kesepakatannya, menurut dia, Harvey meminta sejumlah perusahaan smelter tersebut untuk menyisihkan uang keuntungan dari kegiatan korupsi tersebut.
Sebagai kamuflase, para perusahaan tersebut membayarkan fee tersebut dalam bentuk pembayaran dana corporate social responsibility (CSR) melalui PT QSE. Skema ini dibantu Manager PT QSE yang juga dikenal sebagai Crazy Rich PIK, Helena Lim (HLN).
"Diserahkan sebagian dari keuntungannya, diserahkan kepada yang brsangkutan dengan cover pembayaran dana CSR yg dikirim para pengusaha smelter ini kepada HM melalui PT QSE yg di fasilitasi oleh tersangka HLN," ujar Kuntadi.
(mfd/frg)