Koridor penting dilakukan karena ChatGPT atau language model platform dapat digunakan untuk melakukan kecurangan akademis, seperti plagiarisme berbasis kecerdasan buatan.
“Jadi memang lebih baik sekolah memperkenalkan teknologinya, seperti apa memberikan koridor atau mungkin ruang untuk apa yang boleh dan apa yang tidak boleh, dan kemudian ya bisa evaluasi dari peraturan yang dibuat oleh sekolah dan guru tersebut,” ujar Nadia.
Adanya kekhawatiran terkait plagiarisme dan berbagai praktik kecurangan dalam pendidikan dengan bantuan kecerdasan buatan, lanjut Nadia, kurang beralasan karena praktik serupa, misalnya joki ujian, sudah berlangsung jauh sebelum ChatGPT datang.
"Daripada melarang, pemerintah sebaiknya fokus pada kebijakan yang bertujuan untuk memfasilitasi atau juga bahkan mungkin memperkenalkan ChatGPT sebagai bentuk perubahan teknologi yang masuk ke sektor pendidikan," pungkasnya.
Disrupsi teknologi pada sektor pendidikan akan terus terjadi, sehingga kemunculan satu demi satu inovasi tidak perlu dikhawatirkan.
Jadi memang di satu sisi kita perlu terbuka terhadap teknologi, namun seraya tetap mengembangkan skill yang tidak akan tergantikan oleh teknologi itu, seperti kemampuan berpikir kritis.
“ChatGPT ini juga dapat menjadi cambuk bagi sektor pendidikan untuk terus berbenah dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang terlibat di dalamnya,” tandas Nadia.
Bagaimana caranya untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis merupakan respons yang adaptif untuk mengakomodasi teknologi dengan cara yang produktif yang pada akhirnya akan berdampak baik terhadap students outcome.
(rez/wep)