1. Arus Keuangan
Berdasarkan laporan riset Bahana Sekuritas, sebagian besar pelemahan rupiah berasal dari arus keuangan. Pasar obligasi mencatatkan jual bersih sebesar Rp8,2 triliun pada periode 18-21 Maret 2024, dibanding beli bersih di pasar ekuitas sebesar Rp1,7 triliun. Selain itu, kurangnya minat investor asing terhadap instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) yang pada awalnya dirancang untuk menarik arus masuk asing.
2. Pola Musiman Dividen dan Utang Luar Negeri
Berdasarkan pola musiman menunjukkan bahwa rupiah cenderung melemah pada April-Mei setiap tahunnya, menjelang repatriasi dividen dan musim pembayaran utang luar negeri. Namun, perusahaan tampaknya melakukannya lebih awal dari perkiraan.
"Kami memperkirakan pembayaran dividen masih akan meningkat pada tahun ini, karena ketidakpastian politik yang sedang berlangsung mungkin akan mendorong perusahaan swasta untuk merepatriasi pendapatan mereka dibandingkan menginvestasikannya kembali di dalam negeri," papar Satria dalam laporan risetnya.
3. Arus Perdagangan
Dari sisi arus perdagangan, pasokan dan permintaan valuta asing saat ini tampak lebih sehat dibanding ketika nilai tukar rupiah menembus angka Rp15.800/US$ pada Oktober tahun lalu, berkat lonjakan harga komoditas ekspor Indonesia seperti minyak sawit, batu bara, dan nikel baru-baru ini. Namun, pasokan valuta asing dari komoditas sejauh ini belum cukup untuk menutupi permintaan valas dari tingginya siklus impor bahan bakar dan barang konsumsi untuk momentum Idulfitri.
4. Faktor Politik, Investor Wait and See
Presiden terpilih yang baru akan resmi dilantik dan menjabat sebagai Kepala Negara pada Oktober 2024. Susunan kabinet baru akan diumumkan beberapa bulan lagi, berikut dengan strategi ekonomi pemerintahan baru. Maka itu, para investor mengambil sikap untuk wait and see dalam menempatkan modalnya di pasar keuangan Indonesia, sembari mencerna platform ekonomi pemerintahan baru.
5. Kebijakan Bank Indonesia
Nilai tukar rupiah melemah dan masih akan terjadi dalam beberapa waktu mendatang diyakini karena BI enggan mengambil kebijakan non-populis, sekaligus berlawanan dengan konsensus, yakni menaikkan suku bunga acuan.
"Kami yakin pelemahan mata uang masih terjadi karena perbedaan suku bunga yang besar, terutama karena BI (Bank Indonesia) enggan menaikkan suku bunga secara agresif seperti bank sentral lainnya," ujar Satria.
Dia menjelaskan selama ini BI selalu bersikeras untuk memberikan panduan penurunan suku bunga di tengah situasi yang berlawanan. Hal ini yang dilakukan pada Juli, Agustus, dan September 2023 lalu, sebelum menaikkan suku bunga acuan (BI-Rate) secara mengejutkan pada Oktober 2023.
"Terikat oleh panduan dovish-nya, bank sentral kurang memiliki fleksibilitas dan kredibilitas ketika berupaya memukul spekulan valuta asing yang memanfaatkan keengganan BI untuk menaikkan suku bunga dengan membangun posisi short dalam rupiah," papar Satria.
Menurut dia, kesenjangan suku bunga yang besar antara Indonesia dan negara maju lain tidak terjadi secara berkelanjutan. Hal ini tercermin dari kinerja buruk rupiah pada November dan Desember 2023 ketika bank sentral AS Federal Reserve mengisyaratkan potensi penurunan suku bunga. Meskipun nilai tukar rupiah menguat menjadi Rp15.395/US$ pada periode tersebut, nilai tukar rupiah seharusnya dan bisa saja terapresiasi lebih tinggi.
(lav)