BI Rate Naik Demi Rupiah, Daya Beli Kian Lesu & Seret Ekonomi
Ruisa Khoiriyah
03 April 2024 12:10
Bloomberg Technoz, Jakarta - Kejatuhan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika hingga ke level terlemah sejak April 2020, menaikkan potensi perubahan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia (BI). Rupiah yang terus melemah dan terancam menjebol level psikologis Rp16.000/US$, dinilai bisa memaksa bank sentral menaikkan lagi BI rate untuk meredam arus keluar modal asing dan mengendalikan risiko lonjakan inflasi barang impor.
Namun, mengerek bunga acuan lagi ketika pertumbuhan ekonomi sudah melambat dan diperkirakan akan semakin lesu tahun ini, berisiko membawa kondisi perekonomian RI semakin muram. Daya beli masyarakat bisa kian lesu. Ekspansi pelaku bisnis juga dapat kembali tersendat karena biaya bunga yang mahal tentu mengerem permintaan kredit perbankan.
Sepanjang tahun ini, rupiah spot sudah kehilangan nilai lebih dari 3%. Sementara kurs JISDOR Bank Indonesia mencatat pelemahan 2,84% year-to-date. Perbankan sudah banyak yang menjual dolar AS di atas Rp16.000/US$, menunjukkan ekspektasi pelemahan rupiah masih besar ke depan.
Menaikkan BI rate mungkin menjadi jurus pamungkas BI. Bunga acuan lebih tinggi akan mengerek tingkat imbal hasil surat utang (SBN) sehingga ada potensi pelebaran selisih yield dengan surat utang AS. Harapannya, yield yang kompetitif bisa menarik lagi dana asing masuk ke pasar domestik yang bisa mengerek penguatan rupiah. Saat ini, selisih yield SBN dengan Treasury semakin menyempit, hanya 231 bps akibat lonjakan yield Treasury ke 4,34%.
Langkah kenaikan BI rate karena overshoot rupiah pernah terjadi Oktober lalu. Ketika itu, BI secara tak terduga mengerek suku bunga sebesar 25 bps menjadi 6% setelah mempertahankan BI rate selama sembilan bulan berturut-turut. Penyebabnya sama, yakni pelemahan rupiah yang sudah melampaui batas (overshoot).