Situasi tersebut memunculkan pertanyaan di kalangan pelaku pasar soal sejauh mana Bursa Efek Indonesia (BEI) menyaring emiten pendatang baru berkualitas.
Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna menampik, banyaknya emiten di papan pemantauan khusus full call auction adalah akibat buruknya filtrasi calon emiten. Ada sejumlah poin yang mendasari hal ini.
"Dapat kami sampaikan terlebih dahulu bahwa Perusahaan Tercatat lebih banyak masuk dalam Papan Pemantauan Khusus pada kriteria 1 dan 7, dimana sebagian besar terdiri dari perusahaan-perusahaan yang telah lama tercatat di Bursa dan kurang likuid perdagangan sahamnya," jelas Nyoman, dikutip Rabu (3/4/2024).
Kriteria 1 berkaitan dengan rata-rata harga saham kurang dari Rp51. Sedang kriteria 7 ada kaitannya dengan likuiditas yang rendah.
Dengan masuk ke Papan Pemantauan Khusus, lanjut Nyoman, saham emiten tersebut dapat ditransaksikan pada harga yang lebih wajar. Emiten tersebut juga diharapkan dapat meningkatkan likuiditasnya yang pada akhirnya dapat keluar dari papan pemantauan khusus.
Nyoman menambahkan, dalam melakukan evaluasi calon perusahaan tercatat, BEI tidak hanya mempertimbangkan pada aspek formal, tetapi juga mempertimbangkan aspek substansi persyaratan pencatatan termasuk kinerja dan prospek ke depan dari perusahaan.
"Kami [saat ini] juga meminta Calon Perusahaan Tercatat untuk menyampaikan research report ada saat proses permohonan pencatatan dan digunakan sebagai proses evaluasi Bursa," jelas Nyoman.
Selanjutnya BEI meminta Calon Perusahaan Tercatat untuk menyampaikan research report sebanyak dua kali setelah tercatat di BEI, yaitu pada enam bulan dan 12 bulan setelah tercatat.
Research report dimaksud diharapkan dapat meningkatkan exposure kepada publik atas perusahaan yang baru tercatat serta meningkatkan market attractiveness sebagai pendukung informasi fundamental yang disampaikan oleh Perusahaan Tercatat.
(ibn/dhf)