Lalu, pada 2019, rasionya turun kembali menjadi 2,55% lalu pada 2020 sebesar 2,23%. Dua tahun berikutnya, rasio kembali naik menjadi 2,70% pada 2021 dan 3,32% pada 2022.
Untuk 2023, Isa pesimis rasio bisa mengalami kenaikan. Ia memprediksi realisasi PNBP terhadap PDB hanya sebesar 2,1% saja. Meski demikian, Isa juga menyebut bahwa tren ini dapat naik jika dikelola dengan baik.
“Walaupun demikian, kita juga bisa melihat tapi tren itu ada. Kalau kita bisa mengelola dan memelihara dengan baik, dasar-dasar sumbernya, atau kita rajin menggali potensinya. Tren untuk meningkat itu ada. Tren inilah yang seharusnya itu kita terus kelola dengan lebih baik lagi,”
Jika melihat pengalaman di tahun sebelumnya, harga komoditas seperti minyak mentah, minerba, dan kelapa sawit belum mengalami lonjakan pada bulan pertama. Alhasil, realisasi PNBP saat itu juga masih sulit diprediksi.
“[Memang] untuk tahun 2023, dua bulan pertama ini masih tumbuh baik dibandingkan tahun lalu. Tapi ini tidak membuat kami terlalu besar kepala. Kenapa? Karena bulan pertama tahun lalu tren kenaikan harga komoditas belum terlalu menonjol,” lanjutnya.
Namun, terhadap hal itu, pemerintah tetap mewaspadai pelandaian harga komoditas yang dapat berimplikasi pada target pendapatan negara, baik dari sisi pajak, kepabeanan dan cukai, maupun PNBP. “Kita [tetap] mewaspadai akan ada pelandaian, bahkan mungkin nanti ada penurunan," kata Isa.
Oleh karena itu, kata dia, pemerintah tetap harus antisipatif mempersiapkan mekanisme untuk mengamankan APBN di 2023 apabila harga komoditas tidak setinggi seperti yang diasumsikan.
“Ini tetap menjadi tantangan bagi kami untuk bisa menjaga tren kenaikan. Kalau nanti turun dari 3,32%, ya, enggak turun-turun amat. Kita [terus] berusaha menjaga penurunannya agar tidak terlalu tajam,” sambungnya.
Sebagai informasi, pemerintah sendiri juga telah menargetkan realisasi PNBP tahun ini mencapai Rp441,4 triliun. Target ini turun 8,3% dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp 481,6 triliun.
(ibn/rui)