Efek Tahan BBM
Moshe memproyeksikan pemerintah dan Pertamina tidak bakal serta-merta melakukan penyesuaian harga BBM walaupun terdapat pelemahan rupiah hingga peningkatan harga minyak dunia. Hal ini juga sejalan instruksi sebelumnya dari pemerintah untuk menahan harga BBM hingga Juni 2024.
Terlebih, saat ini situasi politik pascapemilu di Indonesia masih penuh dengan ketidakpastian. Walhasil, penahanan harga dinilai menjadi pilihan yang tepat untuk mencegah perluasan konflik sosial.
Selain itu, penahanan harga BBM juga dinilai tempat untuk mencegah inflasi. Apalagi, energi dinilai berkontribusi kepada inflasi karena bakal menimbulkan kenaikan harga logistik. Pada akhirnya, harga dari kebutuhan pokok bakal merangkak naik seiring dengan kenaikan BBM tersebut.
“Sekarang sudah panas masalah Pilpres masih belum selesai, apalagi kalau ditambah masalah lain lagi,” ujar Moshe.
Dengan demikian, pemerintah dan Pertamina diproyeksikan tidak melakukan penyesuaian harga BBM untuk mencegah perluasan konflik sosial.
Kompensasi Pertalite
Moshe melanjutkan biaya kompensasi yang diberikan oleh pemerintah kepada Pertamina untuk BBM jenis Pertalite berpotensi meningkat seiring dengan pelemahan rupiah dan kenaikan harga minyak dunia.Terlebih, bila pemerintah memutuskan untuk melakukan penahanan harga.
Dalam kaitan itu, menurut Moshe, Pertamina bakal melakukan negosiasi karena pengeluaran bakal merangkak naik seiring kondisi terkini.
“Pertamina akan negosiasi: ‘Saya kehilangan sekian ketika menunggu [penyesuaian harga] hingga Juni dengan perkiraan kurs [misalnya] Rp15.800, sekarang mencapai Rp15.900 atau bahkan mencapai Rp16.000, biaya tidak sama lagi’. Berarti pada akhirnya pemerintah yang menanggung,” ujar Moshe.
Sementara itu, pengeluaran yang diberikan oleh Pertamina bakal makin besar, meski Moshe tidak bisa menjelaskan dengan pasti mengenai potensi kenaikan pengeluaran tersebut.
Namun, Moshe mengatakan tentu terdapat strategi yang dimiliki oleh Pertamina untuk mengompensasi situasi tersebut. “Selama masih ada margin yang mereka masih bisa pakai untuk menutupi loss, peningkatan pengeluaran mungkin mereka masih bertahan dulu.”
Kendati demikian, Moshe meyakini pemerintah dan Pertamina bakal terus melakukan pemantauan terhadap kondisi saat ini, baik pelemahan rupiah hingga harga minyak internasional.
Masih Butuh Impor
Lebih lanjut, Moshe mengatakan pasokan BBM nasional memang masih didukung oleh impor, sebab kebutuhan BBM mencapai 1,5 juta barel per hari atau barrel oil per day (BOPD). Di sisi lain, produksi di kilang berkisar antara 700.000—800.000 BOPD.
Produksi dalam negeri saat ini memang masih mendominasi, tetapi impor berpotensi makin meningkat lantaran adanya stagnasi produksi.
“Intinya mayoritas masih produksi dalam negeri, tetapi impor kita makin lama makin meningkat. Kenapa? karena produksi stagnan, masih sama, tidak naik karena tidak ada kilang baru, kilang yang sekarang juga sudah lama. Jadi produktivitas menurun,” ujarnya.
Untuk diketahui, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dibuka langsung anjlok dalam pembukaan perdagangan pasar spot kemarin, melampaui level terlemah sejak 2020 silam.
Mengacu data Bloomberg, rupiah spot dibuka langsung terpelanting ke Rp15.963/US$, menjadi valuta Asia dengan pelemahan terdalam di kawasan pagi ini, kehilangan 0,42% nilai dari posisi penutupan hari sebelumnya.
Level itu adalah posisi rupiah terlemah sejak April 2020 ketika pandemi Covid-19 merebak dan akhirnya membawa rupiah melampaui Rp16.000/US$. Level terlemah rupiah sepanjang masa terjadi pada 23 Maret 2020 yaitu di Rp16.310/US$.
Kapasitas kilang atau refinery unit (RU) Pertamina pada Ramadan-Idulfitri 2024 :
- RU II Dumai : 155 million barrel stream per day (MBSD)
- RU III Plaju : 105 MBSD
- RU IV Cilacap : 338 MBSD
- RU V Balikpapan : 60 MBSD
- RU VI Balongan : 142 MBSD
- RU VII Kasim : 10 MBSD
- TPPI : 98 MBSD
(dov/wdh)