Menguatnya saham-saham tersebut, utamanya mengekor tren kenaikan harga minyak mentah global yang ‘Mendidih’ makin mendekati level tertinggi dalam lima bulan, didorong oleh meningkatnya risiko geopolitik di Timur Tengah dan pengetatan pasokan dari Meksiko.
Seperti yang diwartakan Bloomberg News, Minyak West Texas Intermediate (WTI) melonjak mendekati US$84 per barel setelah ditutup menguat 0,6% lebih tinggi pada Senin. Usai harga kontrak teraktif tersebut melonjak 14% dalam tiga bulan pertama tahun ini.
Sementara minyak Brent menetap di atas US$87.
WTI juga Brent berhasil membukukan kenaikan kuartal pertama yang solid. Data dari China menambah tanda-tanda pemulihan, yang mendukung prospek permintaan kedepannya. Indeks Aktivitas Industri China rebound pada Maret, memutus penurunan lima bulan berturut-turut, mencerahkan prospek di negara pengimpor minyak mentah terbesar di dunia tersebut.
Harga minyak mentah juga berhasil meningkat tahun ini efek dari OPEC+ yang mengurangi pasokan untuk mendorong harga lebih tinggi dan mengimbangi dampak peningkatan aliran dari luar kartel.
Sementara indeks saham LQ45 yang berisikan saham-saham unggulan masih ada di zona merah, dengan kehilangan 0,71 poin atau 0,07% ke posisi 968,36.
Saham-saham LQ45 yang bergerak pada teritori negatif antara lain, PT Mitra Pack Tbk (PTMP) turun 9 poin ke posisi Rp139/saham, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) melemah 250 poin ke posisi Rp5.675/saham. PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) drop 175 poin ke posisi Rp5.475/saham.
Adapun pasar saham Asia bergerak menghijau pada perdagangan sore hari. Indeks Hang Seng Hong Kong melesat 2,36%, indeks Strait Times Singapore menguat 0,41%, indeks NIKKEI225 menguat 0,09%, indeks Kospi melonjak 0,19% dan indeks Shanghai Composite terdepresiasi 0,08%. Sementara itu, Dow Jones Index Future merah 0,27%.
Aktivitas Manufaktur di negeri Paman Sam secara tidak terduga mencatat ekspansi dengan laju tercepat pada Maret untuk pertama kalinya sejak September 2022. Hal ini didorong oleh peningkatan tajam dalam produksi dan permintaan yang lebih kuat.
Menurut data yang dirilis pada Senin (1/4/2024), Indeks Manufaktur Institute for Supply Management (ISM) menguat 2,5 poin menjadi 50,3 pada Maret. Kenaikan cepat ini menghentikan 16 bulan berturut-turut aktivitas yang menyusut.
Adapun laju Indeks tersebut di Maret melebihi semua perkiraan dalam survei ekonom Bloomberg.
Produksi melonjak tajam dari bulan sebelumnya dengan kenaikan 6,2 poin, yang merupakan kenaikan terbesar sejak pertengahan 2020. Pada level 54,6, pertumbuhan produksi adalah yang terkuat sejak Juni 2022.
Data solid tersebut memperkuat spekulasi bahwa Bank Sentral AS (Federal Reserve/The Fed) tidak akan terburu-buru untuk menurunkan suku bunga, dan kebijakan suku bunga tinggi berpeluang bertahan di level tinggi.
"Investor memang sedang menantikan kemungkinan perubahan kebijakan Hawkish (Pengetatan Kebijakan Moneter) lainnya dari The Fed," kata Jose Torres di Interactive Brokers.
Tim Research Phillip Sekuritas memaparkan, aktivitas manufaktur di kawasan Asia melemah di Maret meskipun terjadi rebound pada manufaktur di China seiring dengan melemahnya permintaan dalam negeri. Menyusutnya aktivitas manufaktur tidak hanya terjadi di negara berorientasi ekspor seperti Jepang dan Korea Selatan, tetapi juga terjadi di Taiwan, Malaysia, dan Vietnam.
“Kondisi ini memberi sorotan pada tantangan yang dihadapi pembuat kebijakan di kawasan Asia di tengah kelangkaan sinyal pemulihan permintaan global dan ketidakpastian kapan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan mulai memangkas suku bunga” mengutip riset harian Tim Research Phillip Sekuritas.
(fad/ain)