Hal itu, kata Inarno, lantaran dalam penerapannya, data Indicative Equilibrium Price (IEP) dan Indicative Equilibrium Volume (IEV) didasarkan pada keseluruhan order yang ada di-order book, tidak hanya semata-mata melihat jumlah order dalam jumlah besarannya.
Dia juga mengatakan bahwa sejatinya mekanisme perdagangan tersebut diklaim dapat melindungi investor, karena harga yang dibentuk berdasarkan sesuai bid (harga penawaran) dan ask (harga permintaan), yang dapat menurunkan volatilitas harga yang terjadi di pasar.
Adapun sebelumnya, kebijakan penerapan PPK tahap II tersebut menuai kritik dari berbagai investor sejak satu hari diluncurkan.
Target utama kritikan tertuju pada informasi mengenai bid dan ask dalam papan pemantauan khusus II. Sehingga, investor hanya dapat memperhatikan data Indicative Equilibrium Price (IEP) dan Indicative Equilibrium Volume (IEV) untuk melihat potensi harga dan volume saham yang akan cocok.
Para kritikus itu juga sempat membuat petisi dengan target mencapai 5.000 tandatangan.
Selain itu, mekanisme full call auction yang diberlakukan juga dinilai berpotensi memunculkan emiten-emiten nakal.
Hal itu diungkapkan oleh praktisi pasar modal Bernad Mahardika Sandjojo. Menurutnya, kebijakan papan pemantauan khusus full call auction hanya menguntungkan pihak tertentu.
"Bayangkan, emiten IPO di harga atas, belum kita bicara dia punya banyak nominee yang subscribe sendiri IPO-nya, kemudian perusahaan dapat duit, nominee jualan di pucuk, setelah itu emitennya tinggal berulah," tutur pemilik akun Instagram @bernad88 dengan lebih dari 25.000 pengikut ini, dikutip Senin (1/4/2024).
"Karena berulah, sahamnya kemudian masuk papan pemantauan khusus, lalu buyback semurah mungkin."
(ibn/roy)