Hal itu, kata dia, kemudian memicu emiten tersebut bakal masuk kepada papan pemantauan khusus. Setelah itu, mereka akan kembali membeli dengan harga semurah mungkin.
"Rp1, bro. IPO di Rp200/saham, kemudian buyback di Rp1/saham. Perusahaan anda tidak hilang, dapat duit, gimana tidak nguntungin? Nguntungin perusahaan nakal."
Sekadar catatan, mekanisme perdagangan full call auction di papan pemantauan khusus itu memang mempunyai batasan harga diminimum Rp1/saham.
Adapun, saham-saham yang masuk dalam papan pemantauan khusus merupakan saham-saham yang terkena kriteria fundamental ataupun likuiditas sebagaimana Peraturan Nomor I-X tentang Penempatan Pencatatan Efek Bersifat Ekuitas pada Papan Pemantauan Khusus.
Hingga saat ini, papan pemantauan khusus itu pun telah terisi lebih dari 200 emiten yang 'bermasalah', atau sekitar seperempat dari seluruh emiten yang telah melantai di BEI.
"Berarti yang bermasalah ini perusahaan yang IPO atau regulator yang kasih izin untuk IPO?," kata Bernad.
Respons BEI
Menanggapi hal itu, BEI mengeklaim bahwa kebijakan ini justru memberikan manfaat bagi perusahaan tercatat atau emiten.
Setidaknya, kata BEI, ada dua manfaat yang didapat. Pertama, full call auction dapat memotivasi emiten untuk melakukan perbaikan kinerja fundamental perusahaan dan/atau likuiditas perdagangan Perusahaan Tertcatat di Pasar Sekunder.
Kedua, full call auction dapat memberikan waktu yang memadai bagi emiten untuk memperbaiki kinerjanya sebelum sahamnya dikenakan suspensi.
Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa BEI Irvan Susandy mengatakan, pengaturan metode perdagangan itu sedianya diharapkan dapat lebih fair, karena memperhitungkan seluruh order yang ada di orderbook.
"Sehingga memberikan proteksi kepada investor atas potensi aggressive order yang masuk di pasar," ujar Irvan belum lama ini.
Irvan mengatakan, meski batas minimum harga yang diberlakukan untuk saham papan pemantauan khusus tersebut adalah Rp1, Auto Rejection harian yang diterapkan bagi saham-saham di papan tersebut lebih kecil dibandingkan yang lain, yaitu 10%.
"Melalui mekanisme ini, kami harapkan saham-saham tersebut dapat lebih aktif diperdagangkan sesuai dengan fair pricenya, yang informasinya dapat dilihat melalui IEP & IEV," ujar dia.
Irvan lantas merincikan bahwa IEP dan IEV tersebut terpampang sepanjang waktu sebelum waktu matching procces. Dengan kata lain, setiap ada order baru masuk yang mengakibatkan perubahan harga atau volume indikatif, maka IEV dan IEP akan berubah.
"IEP IEV bisa jadi acuan investor. Kalo sebelumnya kan pre opening & pre closing totally blind order book, tapi dengan adanya IEV IEP maka investor ada acuan harga yang mungkin akan terbentuk serta berapa banyak volumenya. Hal yang sama berlaku di papan pemantauan khusus."
(ibn/dhf)