Logo Bloomberg Technoz

“Penghasil nikel dengan biaya produksi paling rendah di Indonesia karena kita pakai PLTA. Itu biaya investasi di awal memang besar sekali, jutaan dolar. Namun, sekarang kita jadi produsen nikel dengan biaya produksi paling rendah di Indonesia.” 

Timbunan bijih nikel mentah di area laydown PT Sulawesi Resources di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah./Bloomberg-Dimas Ardian

Bagaimanapun, Bayu tidak menampik bahwa keseluruhan investasi tambahan untuk produksi nikel hijau masih cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan skema BAU. Apalagi, perseroan mengalokasikan sejumlah dana tambahan sebagai bentuk pertanggungjawaban terhadap lingkungan. 

Adapun, Vale Indonesia setidaknya mengalokasikan biaya untuk pertambangan sebesar 53% dan 47% khusus untuk lingkungan. “[Sebanyak] 25% itu sebelum menambang, 22% setelah menambang berupa penanaman pohon.”

Kendati demikian, biaya operasional harus dilihat sebagai sebuah hal yang komprehensif, karena investasi pada lingkungan bisa dilihat sebagai salah satu bentuk mitigasi risiko untuk mencegah munculnya bencana seperti tanah longsor serta menjaga kualitas air agar tetap bersih. 

Prospek Nikel Hijau

Meski demikian, Bayu tidak bisa menjelaskan dengan pasti ihwal prospek nikel hijau ke depan. Hal tersebut bergantung kepada permintaan dari investor dan pembeli.

Green nickel masih jadi diskusi, buat kita kalau bisa itu green nickel diapresiasi dengan baik, sangat bagus. Namun, kalau belum ke sana, PT Vale sudah punya komitmen kita menjalankan sesuatu harus dengan cara berkelanjutan karena itu bagian dari value.”

Terpisah, Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menilai pengembangan nikel hijau di Indonesia akan bergantung dari upaya Pemerintah Indonesia ke depannya untuk menerapkan environmental, social and governance (ESG), khususnya dalam mengatur batu bara untuk menghasilkan energi yang lebih bersih.

Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey mengatakan selama ini nikel Indonesia disebut mengandung energi kotor karena diproses menggunakan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara.

Blok Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) di fasilitas pengolahan nikel Harita Nickel di Pulau Obi, Maluku Utara./Bloomberg-Dimas Ardian

Namun, hal ini terpaksa dilakukan lantaran pabrik pengolahan nikel (nickel processing plant) membutuhkan energi yang besar. Sementara itu, energi dengan kapasitas besar di Indonesia saat ini masih diperoleh melalui batu bara.

“Contoh kalau satu line [di smelter nikel] itu butuh 30—50 megawatt, mau ambil dari mana selain batu bara? Bagaimana untuk nikel hijau ke depannya? Itu kembali ke pemerintah dalam menerapkan ESG. Itu tidak jalan kalau governance belum proper. Sebab, governance akan melakukan langkah regulasi untuk environmental dan social,” ujar Meidy saat dihubungi baru-baru ini.

Kendati demikian, Meidy tidak menampik memang terdapat perbandingan biaya produksi untuk menghasilkan nikel hijau dibandingkan dengan nikel biasa dengan skema BAU, di mana nikel yang diproduksi RI lebih kompetitif dari nikel hijau atau nikel premium yang banyak dihasilkan negara Barat.

Namun, dirinya tidak bisa memberikan kalkulasi nilai dengan lengkap perihal perbandingan biaya produksi kedua nikel tersebut, karena hal itu bergantung pada jenis teknologi yang akan digunakan. 

Terlebih, setiap wilayah memiliki biaya produksi yang berbeda tergantung dengan kondisi yang ada, salah satunya tergantung masyarakat di daerah tambang nikel.

“[Biaya produksi] rata-rata seluruh tambang US$25 di luar royalti 10% bayar ke negara, NPI [nickel pig iron] average US$9.000-US$10.000 per ton di Indonesia,” ujarnya.

“Kalau proses nikel hijau, tergantung cost environmental berapa, bagaimana melakukan teknologi baru hijau itu cost berapa, tidak bisa average karena teknologi dan wilayah berbeda-beda."

Indonesia raja nikel dunia./dok. Bloomberg

Dilansir melalui situs Easy Skill, ‘nikel hijau’ atau kadang juga disebut sebagai nikel berkelanjutan, diproduksi dengan menerapkan praktik penambangan yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan, seperti penggunaan energi terbarukan untuk menggantikan pembangkit listrik tenaga batu bara atau minyak, pengurangan dan pengolahan limbah khususnya dalam proses hidrometalurgi dan remediasi air.

Adapun, tambang ‘nikel hijau’ berkomitmen untuk bekerja sama dengan masyarakat lokal dalam isu-isu sosial. Tujuan mereka adalah untuk memastikan bahwa kegiatan pertambangan memberikan manfaat bagi masyarakat melalui kesempatan kerja, pelatihan, dan pengembangan keterampilan.

Sayangnya, nikel jenis ini masih sulit mendapatkan harga premium di pasar lantaran ongkos produksinya tidak efisien jika dibandingkan dengan nikel-nikel yang diproduksi di Indonesia.

Di tengah desakan banyak penambang global untuk ‘memerangi’ dominasi nikel murah dari Indonesia dan China, London Metal Exchange (LME) memberi sinyal bahwa pasar nikel premium ramah lingkungan atau green nickel masih belum sanggup menyaingi produksi dari RI.

Dalam catatan atau notice yang diterbitkan belum lama ini, LME menegaskan pasar ‘nikel hijau’ saat ini masih terlalu kecil untuk bisa menggaransi kontrak berjangka mereka sendiri.

Dengan kata lain, pernyataan LME ini akan menjadi pukulan telak bagi para korporasi tambang mineral global yang sedang berharap mendapatkan harga premium bagi logam nikel yang mereka produksi dengan sistem ramah lingkungan.

“LME yakin pasar ‘nikel hijau’belum cukup besar untuk mendukung semangat memperdagangkan kontrak berjangka hijau khusus. Pelaku pasar telah menyatakan kekhawatirannya akan hal itu dan masih terdapat perdebatan pasar yang signifikan mengenai bagaimana mendefinisikan ‘hijau’,” papar bursa logam barometer dunia itu, dikutip Kamis (7/3/2024).

Sebelumnya, orang terkaya di Australia, Andrew Forrest, mendesak LME untuk membedakan klasifikasi antara nikel "kotor" dan "bersih" dalam perdagangan logamnya. Pernyataan tersebut dibuat setelah bisnis logam pribadinya mengumumkan penutupan tambang baru-baru ini.

Forrest mengatakan kepada wartawan di Canberra pada Senin (26/2/2024) bahwa LME harus mengklasifikasikan nikel berdasarkan emisi karbon. Dengan demikian, pelanggan dapat membuat pilihan mengenai produk yang mereka transaksikan.

Dia menambahkan, beberapa perusahaan menggunakan baterai dari nikel murah yang ditambang di Indonesia, yang dikenal dengan jejak emisi tinggi dan standar lingkungan yang dipertanyakan.

"Anda ingin punya pilihan untuk membeli nikel bersih jika Anda bisa," kata Forrest. "Jadi, LME harus membedakan mana yang kotor dan yang bersih. Keduanya adalah produk yang berbeda, dan memiliki dampak yang sangat berbeda."

(wdh)

No more pages