Pertama, pembangunan pabrik pengolahan dan peleburan baru yang berteknologi hidrometalurgi atau berbasis high pressure acid leaching (HPAL) dengan mitra a.l. Zhejiang Huayou Cobalt Co Ltd (Huayou) dan PT Huali Nickel Indonesia (Huali).
Saat ini, perusahaan tengah melakukan studi lokasi dari smelter. Dengan demikian, progres dari smelter HPAL di Sorowako belum secepat proyek di Pomalaa.
“Sorowako masih dalam studi lokasi untuk menentukan [pabrik]. Harus dilihat lokasi di mana, karena pabrik kita di Sorowako, sedangkan potensi di daerah Maili. Sehingga harus studi tempat. Progres tidak sekencang Pomalaa, tetapi harapannya investasi [pada ketiga proyek senilai] US$8,6 miliar hingga US$9 miliar ini bisa segera realisasi,” ujar Bayu.
Pabrik itu bakal menghasilkan mixed hydroxide precipitate (MHP) yang menjadi bahan baku untuk baterai kendaraan listrik. Selain itu, fasilitas pengolahan tersebut ditargetkan sanggup memproduksi 60.000 ton nikel dan 5.000 ton kobalt per tahun dalam bentuk MHP.
Proyek di Sorowako, baik smelter maupun tambang, memiliki nilai investasi sekitar US$2,1 miliar.
Smelter RKEF di Morowali
Kedua, smelter berteknologi pirometalurgi atau rotary kiln electric furnace (RKEF) yang ramah lingkungan di Blok Bahadopi, Morowali.
Dalam proyek itu, Vale menggandeng perusahaan asal China Taiyuan Iron & Steel Group Co Ltd (Tisco) dan Shandong Xinhai Technology Co Ltd (Xinhai) melalui perusahaan patungan PT Bahodopi Nickel Smelting Indonesia (BNSI).
Bayu belum bisa menjelaskan dengan lengkap perihal kemajuan dari smelter tersebut, sebab, segala persiapan konstruksi dipegang oleh mitra yakni perusahaan patungan PT Bahodopi Nickel Smelting Indonesia (BNSI).
Namun, pembangunan smelter di Morowali secara sederhana bakal menghabiskan waktu 18 bulan untuk kerangka (framework) fondasi. Sementara, teknologi dan alat bakal difabrikasi di China. “Dibangun hanya framework pondasi, alat difabrikasi di China. Begitu ditaruh seperti lego.”
Sementara, Bayu memastikan bahwa pekerjaan tambang yang menjadi tanggung jawab dari Vale Indonesia sedang berproses. Adapun, pekerjaan pra penambangan (premining work) sudah berjalan.
“Tambang on progress, kita punya tambang baru sudah dibangun, premining work sudah jalan, beberapa jalan sudah dibangun. Progresif. Saya belum bisa sampaikan persentase, tetapi Morowali juga sudah rekrut orang, jumlahnya lupa dan prioritas berasal dari lokal,” tambah Bayu.
Proyek di Morowali, baik smelter maupun tambang, memiliki total nilai investasi US$2,5 miliar.
Smelter HPAL di Pomalaa
Ketiga, proyek smelter berbasis HPAL dengan kapasitas 120.000 ton nikel dalam format MHP yang berlokasi di Blok Pomalaa. Proyek ini hasil patungan INCO dengan Huayou dan Ford Motor Co yang diteken sejak Maret tahun lalu, yang membentuk perusahaan patungan bernama PT Kolaka Nickel Indonesia (KNI).
Senada dengan di Morowali, Bayu mengatakan, pembangunan smelter merupakan tanggung jawab KNI. Dengan demikian, dirinya tidak bisa menjelaskan kemajuan (progres) dari proyek tersebut.
Dalam kaitan itu, mereka bakal membangun kerangka (framework) fondasi smelter selama 15 bulan. Lalu, alat bakal difabrikasi di China.
“Waktu diskusi dengan Huayou ada pertanyaan; ‘Apakah yakin 2026 selesai?', tim Huayou menjawab yakin, karena itu cara mereka, mereka sudah berikan 15 bulan di [Pomalaa] Halmahera dan 18 bulan di Morowali,” ujarnya.
Pabrik ini dirancang untuk memproduksi 70—80 kiloton nikel saprolite yang bakal diolah menjadi baja nirkarat.
Sementara itu, untuk tambang, Vale Indonesia sudah memulai konstruksi persiapan pertambangan dan melakukan perekrutan karyawan lokal untuk proyek tambang tersebut.
“Di Pomalaa, sampai Januari 2024, sudah rekrut 1.000 orang, 72%adalah lokal. Ini bentuk perwujudan komitmen kita, kalau bisa cari lokal, kalau tidak dapat baru nasional dan yang lain-lain.”
Proyek di Pomalaa, baik smelter maupun tambang, memiliki total nilai investasi US$4,5 miliar.
(dov/wdh)