Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif sebelumnya mengaku masih menimbang soal kemungkinan Pertashop atau 'SPBU Mini' milik Pertamina untuk juga menjual Pertalite.
Arifin menjelaskan jika Pertashop ikut menjual BBM jenis Pertalite, subsidi energi yang harus ditanggung pemerintah justru berisiko membengkak.
"Ini kan nanti bisa menambah subsidi lagi kan. Seharusnya dievaluasi lebih dalam lagi. Kalau enggak, ya jebol [anggaran kompensasi BBM-nya]," ujar Arifin saat ditemui di kantornya, Jumat (20/10/2023).
Belum lagi, Arifin mengatakan harga minyak dunia yang saat ini membengkak bakal berpengaruh terhadap pengeluaran anggaran subsidi pemerintah.
Alih-alih mengizinkan Pertashop menjual Pertalite, dia lebih menekankan pada proses pengawasan dalam penggunaan BBM agar tepat sasaran. "Supaya apa? supaya yang bisa beli Pertamax, belilah Pertamax. Jangan hijrah [ke Pertalite].”
Pertashop sendiri merupakan distributor resmi BBM dan produk ritel nonsubsidi dari Pertamina Group. Adanya Pertashop ditujukan untuk mendekatkan produk energi ke konsumen akhir di perdesaan, yang selama ini belum terjangkau akses langsung ke lembaga penyalur resmi Pertamina.
Namun, SPBU Mini tersebut hanya diperbolehkan untuk menjual produk Petamina nonsubsidi, mulai dari Pertamax, LPG 12 kg, Bright Gas, dan produk ritel Pertamina lainnya.
Dalam sebuah audiensi di Komisi VII DPR RI Juli tahun lalu, pengusaha Pertashop melaporkan kerugian parah, seiring dengan makin tingginya disparitas harga antara Pertamax dan Pertalite.
Ketua Umum Perhimpunan Pertashop Merah Putih Indonesia H. Abdul Salam dan Ketua Paguyuban Pengusaha Pertashop Jawa Tengah dan DI Yogyakarta Gunadi Broto Sudarmo, dalam pernyataan bersamanya, mengatakan saat ini kian banyak pengusaha Pertashop di Indonesia yang gulung tikar di tengah margin yang terus melorot.
Pertashop, padahal, merupakan badan usaha legal yang dibentuk untuk membantu pemerintah menyalurkan bahan bakar minyak nonsubsidi ke wilayah perdesaan yang tidak terjangkau oleh stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) Pertamina.
Menurut data kedua asosiasi tersebut, pada Januari—Maret 2022, rerata omzet per gerai Pertashop mencapai Rp34.0000—Rp38.000 per bulan dengan harga Pertamax Rp9.000/liter. Namun, kondisi tersebut berubah drastis sejak harga Pertamax mengalami penyesuaian per April 2022, terdampak fluktuasi harga minyak dunia akibat perang Rusia-Ukraina.
“Mulai April 2022, omzet langsung turun drastis. Dengan [Pertamax] harga Rp12.500/liter, omzet merosot jadi Rp16.000 per bulan, lalu berlanjut karena ada fluktuasi harga sampai Rp14.500/liter, ada yang Rp13.900/liter, dan sebagainya. Sampai sekarang di harga Rp12.500/liter, itu pun omzet Pertashop belum bisa kembali seperti saat harga Pertamax Rp9.000/liter dan Pertailte Rp6.750/liter,” ujar Gunadi.
Tak Lagi Menguntungkan
Akibat disparitas harga yang makin lebar antara Pertamax dan Pertalite —yang kini dijual Rp10.000/liter— omzet Pertashop anjlok hingga 90% dan usaha tersebut diklaim tidak lagi menguntungkan.
Gunadi mengatakan dari 448 Pertashop; sebanyak 201 di antaranya merugi, terancam tutup, serta terancam disita asetnya lantaran tidak sanggup membayar angsuran bulanan ke bank yang bersangkutan.
“Akibat disparitas harga [yang makin lebar antara Pertamax dan Pertalite], nilai atau jumlah Pertashop dengan omzet kurang dari 200 liter per hari mencapai 47% [dari total gerai Pertashop di Indonesia],” tuturnya.
Dengan omzet hanya 200 liter per hari, laba kotor yang didapatkan per gerai Pertashop saat ini diklaim hanya Rp5,1 juta per bulan. Nilai tersebut belum termasuk beban gaji untuk dua operator minimal Rp4 juta per bulan, iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), serta potensi losses sebesar 1%x6.000 liter per bulan.
“Jadi 47% teman-teman pengelola Pertashop yang punya omzet segitu bisa dibilang merugi. Ini belum untuk kewajiban ke bank,” terangnya.
Untuk diketahui, Pertashop merupakan lembaga penyalur resmi BBM Pertamina skala kecil, yang disiapkan untuk distribusi produk ritel Pertamina Group ke konsumen nonsubsidi. Selain Pertamax, gerai Pertashop mendistribusikan LPG, pelumas, serta produk ritel Pertamina lainnya.
Tujuan awal dibentuknya konsep Pertashop adalah mendekatkan produk energi ke konsumen akhir di perdesaan, yang selama ini belum terjangkau akses langsung ke lembaga penyalur resmi Pertamina.
“Ini memberi nilai tambah dari potensi sumber daya yang dimiliki desa, membuka peluang kerja sama pemerintah desa dengan mitra, dengan harapan dapat mempercepat pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa,” kata Gunadi.
Dasar Hukum
Adapun, dasar legalitas badan usaha Pertashop a.l. nota kesepahaman antara Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dengan Pertamina dengan nomor 193/1536A/SJ tertanggal 20 Februari 2020 tentang Dukungan Pemerintah dan Masyarakat Desa dalam Peningkatan dan Pengembangan Pertashop di Desa.
Lalu, Surat Mendagri No. 117.3015 tertanggal 28 April 2020 tentang Percepatan Pelaksanaan Program Pertashop di Desa, serta Surat Mendagri No. 117.4102 tertanggal 16 Juli 2020 tentang Tindak Lanjut Pelaksanaan Program Pertashop.
Berdasarkan perhitungan asosiasi, modal yang dibutuhkan untuk Pertashop jenis Gold mencapai Rp250 juta dengan margin Rp850/liter, Pertashop Platinum Rp417 juta dengan margin Rp600/liter, sedangkan Pertashop Diamond Rp570 juta dengan margin Rp435/liter.
Akan tetapi, secara kumulatif, untuk mendirikan Pertashop jenis Gold –misalnya– dibutuhkan modal sekitar Rp570 juta—Rp600 juta akibat adanya tambahan biaya sewa lahan 10 tahun sekitar Rp100 juta, pendirian bangunan Rp200 juta, dan biaya lain-lain Rp20 juta.
“Pendiriannya juga bukan murni modal sendiri. Kebanyakan menggunakan fasilitas KUR [kredit usaha rakyat] dari bank BUMN atau BUMD,” jelas Gunadi.
Guna mengatasi masalah kerugian yang diderita pengusaha Pertashop, dia pun mendesak agar Peraturan Presiden No. 191/2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak segera diterbitkan.
Seperti diketahui, regulasi tersebut diharapkan menjadi pengendali distribusi BBM bersubsidi. Dengan demikian, dia berharap revisi regulasi tersebut akan menjadi jembatan untuk mengamankan pangsa pasar Pertashop -yaitu BBM nonsubsidi- lantaran masyarakat tidak lagi sembarangan beralih ke BBM jenis Pertalite.
"Dengan ini, kami mohon evaluasi atau monitoring tetang Pertalite di pengecer, kami ingin segera sahkan revisi perpres No. 191/2014 karena sampai sekarang belum ada ketentuan mengenai Pertalite secara detail, beda dengan Solar yang konsumennya sudah tertata. Pertalite belum, masih banyak yang sebenarnya tidak boleh pakai Pertalite, tetapi ternyata masih ditemukan pakai BBM jenis Pertalite," kata Gunadi.
Revisi aturan yang akan memaktub perihal pembatasan BBM jenis Pertalite sampai dengan saat ini masih jadi tanda tanya besar. Belum ada informasi kapan revisi aturan tersebut diterbitkan dan bagaimana mekanisme pembatasannya.
(wdh)