Terkait penyimpangan prosedur, Didid menegaskan pihaknya berpedoman pada Peraturan Bappebti (Perba) 8 Tahun 2021 dan Perba 13 Tahun 2022. Keduanya mengatur dokumen yang diperlukan dalam dalam pendaftaran IUBB. Kemudian Bappebti melakukan pemeriksaan untuk memastikan dokumen tersebut benar dan sesuai. Salah satunya dokumen yang diwajibkan, tegas Didi, ialah SOP.
“Ketika mereka mengajukan dokumen SOP itu kami terima. Tentu kami pelajari apakah sudah sesuai dan relevan dengan pengajuan sebagai pengelola bursa kripto. Ketika kualitasnya tidak sesuai, tentu kami kembalikan. Memang ketentuannya memiliki SOP tapi bukan berarti asal dokumen SOP, harus yang sesuai dan berkualitas,” jelas Didid.
Lebih lanjut, Didid mempertanyakan penyalahgunaan wewenang yang disebut oleh Ombudsman RI. Menurutnya, pendalaman oleh Bappebti bertujuan memastikan agar bursa kripto dapat berjalan dengan baik dan berkualitas, serta memiliki aspek perlindungan pada masyarakat.
“Kripto ini hal yang baru di Indonesia. Kalau bursa ini berdiri, maka bursa kripto ini akan menjadi yang pertama di dunia. Jadi, kami harus memastikan bahwa masyarakat terlindungi,” ungkapnya.
Didid mengungkapkan, pada 2022, sebanyak Rp 300 triliun dana masyarakat berputar dalam perdagangan kripto, turun dari tahun sebelumnya yang mencapai Rp 859 triliun.
Dari sisi investor, jumlah perdagangan kripto bertambah dari 11,5 juta menjadi 16,5 juta pada 2022.
Terkait biaya Rp 19 miliar yang dikeluarkan DFX, Didid berkomentar, itu menjadi risiko bagi sebuah badan usaha.
“Menurut saya, itu adalah risiko dari suatu badan usaha. Ketika dia mau mengajukan izin, tentu dia harus mendirikan perusahaan dan ada cost-nya. Itu adalah suatu konsekuensi. Tidak relevan dikatakan bahwa kami mengakibatkan kerugian DFX. Apa pengurusan perizinan butuh bayaran? Tidak. Perizinan di Bappebti bebas biaya. Biaya yang ada, hanya karena untuk pendirian perusahaan itu, untuk bayar gedung, listrik dan sebagainya. (Itu) mungkin habis Rp 19 miliar,” jelasnya.
Rencananya, Bappebti akan menindaklanjuti rekomendasi Ombudsman, namun sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya, salah satunya terkait kepastian status DFX.
Didid mengungkapkan Bappebti dapat membuat persetujuan atau penolakan terhadap IUBB DFX, namun pihaknya juga perlu memperhatikan Undang-Undang No. 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Pasalnya, UU tersebut mengatur terkait pemindahan kewenangan aset kripto dari Bappebti ke OJK.
“Bisa saja kami membuat persetujuan atau penolakan tapi kembali, kami harus melihat apa yang diminta oleh UU P2SK karena ada masa transisi. Apakah nanti kewenangan itu masih akan di Bappebti atau OJK. Kalau ada di Bappebti, kami akan segera memberi status diterima atau ditolak, tapi kami akan konsultasi ke berbagai pihak seperti DPR dan sebagainya. Bisa saja kami menjawab rekomendasi itu setelah PP-nya disahkan. Tentu kami akan menjelaskan pada ombudsman,” kata Didid.
(tar/wep)