“China bertujuan untuk bertransisi ke jalur pertumbuhan yang lebih seimbang, tetapi upaya untuk mendorong permintaan alternatif terbukti sulit,” kata Bank Dunia dalam laporannya.
China membutuhkan lebih dari sekedar “stimulus fiskal konvensional,” kata World Bank, selaku pemberi pinjaman pembangunan ini.
Perlindungan sosial yang lebih kuat, perpajakan progresif, dan realokasi pengeluaran publik dari infrastruktur ke sumber daya manusia (SDM) akan membantu memacu konsumsi.
Tidak termasuk China, negara-negara berkembang di Asia Timur dan Pasifik akan mencatatkan ekspansi yang stabil pada 4,6% tahun ini dan 4,8% tahun depan. Hal ini ditopang oleh ekspor barang kemungkinan besar akan pulih dan kondisi keuangan membaik.
Baca Juga: AS Tuduh China Distorsi Ekonomi Dunia
Filipina, Vietnam, dan Kamboja siap untuk tumbuh di atas 5% pada tahun 2024 dan sekitar 6% pada tahun 2025. Thailand dan Myanmar adalah yang paling lambat di antara negara-negara besar di kawasan ini.
“Inflasi inti di AS dan Uni Eropa tetap tinggi dan pasar tenaga kerja tetap ketat, menunjukkan bahwa suku bunga akan tetap lebih tinggi daripada tingkat sebelum pandemi di masa mendatang,” kata Bank Dunia tentang risiko penurunan. “Perkembangan politik di berbagai negara serta meningkatnya ketegangan geopolitik memicu ketidakpastian.”
Bank Dunia memperingatkan adanya peningkatan tajam dalam utang di kawasan ini — yang membuat biaya pinjaman tetap tinggi dan menekan konsumsi dan investasi.
Utang korporasi di China dan Vietnam telah meningkat lebih dari 40 poin persentase dari PDB sejak 2010 dan melampaui tingkat di negara-negara maju, katanya. Utang rumah tangga di China, Malaysia dan Thailand juga lebih tinggi dibandingkan dengan pasar-pasar negara berkembang lainnya.
Dari sisi eksternal, peningkatan proteksionisme perdagangan - yang sebagian besar dilakukan oleh negara-negara maju—dapat menghambat pertumbuhan negara-negara berkembang di Asia Timur dan Pasifik karena membatasi akses ke pasar — pasar utama seperti Amerika Serikat (AS), Korea Selatan, dan Jepang, dan perusahaan-perusahaan yang menerima subsidi merupakan pesaing potensial bagi perusahaan-perusahaan di kawasan ini, demikian ungkap Bank Dunia.
Hampir 3.000 tindakan distorsi perdagangan baru diberlakukan pada tahun 2023, tiga kali lebih besar dari yang terjadi pada tahun 2019, tambahnya.
(bbn)