"Dengan data inflasi hari ini, kami perkirakan inflasi Indeks Harga Konsumen akan mencapai 3,6% pada Desember, lebih tinggi dari target kisaran BI di 3,5%," kata Lionel Prayadi, Fixed Income and Macro Strategist dari Mega Capital Sekuritas, dalam catatannya pasca pengumuman data inflasi, hari ini, Senin (1/4/2024).
BI memproyeksikan inflasi di kisaran 1,5%-3,5%. Bila sampai akhir tahun nanti target itu tidak tercapai atau berada di level di atas target tersebut, maka potensi penurunan BI rate menjadi berkurang.
"BI akan menimbang pendekatan lebih hati-hati dalam menurunkan bunga pada semester II nanti dengan mempertimbangkan skenario penurunan 25 bps menjadi 5,75% dari perkiraan semula 50 bps," kata Lionel.
Belum Puncak
Inflasi Maret terutama naik karena dimulainya musim perayaan Ramadan yang secara historis hampir selalu melonjakkan permintaan barang dan jasa sehingga memicu inflasi. Sementara Idulfitri baru jatuh pada 10 April nanti dan diprediksi akan mengerek inflasi April.
Berkaca pada tahun lalu, inflasi pada bulan ketika datang perayaan Lebaran yakni pada April, inflasi justru lebih landai. Penyebab utamanya karena tekanan inflasi pangan bergejolak juga lebih kecil sejurus dengan pasokan yang melimpah untuk komoditas padi dan cabai karena adanya panen.
Untuk Lebaran tahun ini, hal yang sedikit mirip mungkin bisa terjadi terutama untuk inflasi harga beras dengan prediksi terjadinya puncak panen pada April. Namun, tetap perlu diwaspadai sumber penyulut inflasi dari kelompok lain seperti kelompok pakaian, alas kaki dan inflasi transportasi.
Inflasi kelompok transportasi, misalnya, pada Lebaran tahun lalu mencapai 11,96%, sedang inflasi kelompok makanan, minuman dan tembakau hanya 4,58% dan inflasi kelompok pakaian dan alas kaki 1,8%.
Imported Inflation
Inflasi yang bertengger tinggi akan semakin terbebani oleh pelemahan rupiah yang sampai hari ini masih belum menemui ujung. Rupiah telah kehilangan 3,35% nilainya year-to-date dan kini bergerak di Rp15.913/US$.
Ada risiko inflasi dari kegiatan importasi barang (imported inflation), terutama dari barang konsumsi dan BBM. Pada Februari lalu, impor barang konsumsi tumbuh 5,11% month-to-month atau 22,73% secara tahunan. Sementara impor migas mencapai 10,42% year-on-year.
Konsumsi BBM dan impor barang konsumsi kemungkinan memuncak pada April mengantisipasi lonjakan permintaan untuk kebutuhan seputar Lebaran dan tradisi mudik. Pelemahan rupiah yang sudah cukup dalam bisa mengerek kenaikan harga barang impor.
"Pelemahan rupiah sejauh ini bisa menambah biaya impor sehingga ke depan tekanan inflasi mungkin masih akan menunjukkan tanda-tanda berlanjut. Gangguan di Laut Merah juga telah meningkatkan biaya transportasi internasional secara tajam ditambah pembatasan ekspor beras global oleh negara-negara produsen menambah tekanan suplai beras akibat El Nino," kata Tamara Mast Henderson, ekonom Bloomberg Economics dalam catatannya mengomentari data inflasi terbaru.
Namun, ekonom Bloomberg memperkirakan, masih ada peluang inflasi tahun ini bisa terjangkar di kisaran target BI di 1,5%-3,5% terutama jika BI mempertahankan bunga acuan di level tinggi lebih lama.
Yang pasti, BI rate semakin terang belum akan turun pada semester 1 tahun ini menimbang berbagai faktor tersebut yaitu rupiah dan inflasi. BI dijadwalkan akan menggelar Rapat Dewan Gubernur bulanan setelah Lebaran nanti pada tanggal 23-24 April.
Dalam pernyataan terakhir usai pengumuman hasil RDG bulan lalu, Gubernur BI Perry Warjiyo juga menggarisbawahi hal yang sama.
"Kami baru melihat ruang terbuka untuk penurunan BI rate pada semester II, bisa maju bisa mundur juga. Faktor paling utama adalah inflasi. Kami meyakini inflasi volatile food saat ini adalah temporer karena faktor musiman sehingga nanti akan turun sehingga kami yakini inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) masih akan di 3%, inflasi inti juga masih tetap rendah," kata Perry Warjiyo, Gubernur Bank Indonesia dalam konferensi pers pemaparan hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia di Jakarta, siang hari ini, Rabu (20/3/2024).
BI Rate Bisa Naik?
Kejatuhan rupiah sepanjang tahun ini terutama karena aksi jual pemodal asing yang masih terus berlangsung terutama di pasar surat utang.
Mengacu catatan Bank Indonesia, sepanjang tahun ini hingga data setelmen terakhir 27 Maret, pemodal asing mencatat posisi jual (net sell) di SBN hingga di angka Rp33,31 triliun. Pada saat yang sama, asing masih membukukan net buy di pasar saham senilai Rp28,9 triliun dan di Sertifikat Rupiah Bank Indonesia (SRBI) sebesar Rp20,05 triliun.
Bulan-bulan ini akan menjadi masa kritis bagi rupiah akan membuat BI semakin berkukuh mempertahankan BI rate di level tinggi. Bahkan mungkin ada potensi kenaikan BI rate lagi secara tak terduga, terutama bila pelemahan rupiah semakin menguras cadangan devisa melewati 'batas' yang bisa ditoleransi oleh BI.
Ketika BI rate secara tak terduga dinaikkan Oktober lalu, posisi cadangan devisa telah tergerus hingga US$12 miliar. Dua bulan berturut-turut ini cadangan devisa RI turun dan terakhir ada di posisi US$144 miliar per akhir Februari.
"Keputusan Oktober itu berjarak enam bulan setelah BI aktif mengintervensi pasar dan setelah cadangan devisa turun sampai US$12 miliar," kata Head of Equity Research Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro.
Mengacu pada data historis, rupiah biasanya cenderung menguat setelah musim perayaan terbesar, Ramadan dan Idulfitri, berlalu. Dibandingkan MSCI Emerging Market Currency Index pada April tahun lalu, rupiah masih mencatat kenaikan 2,1%, lalu sebesar 0,7% pada Mei 2022, 0,5% pada Juni 2019 dan 1,3% pada Juni 2018. Namun, dengan masih adanya sentimen ketidakpastian politik ditambah tekanan ketidakpastian global, risiko pelemahan rupiah masih terbentang.
"Apakah BI akan mengejutkan pasar lagi kali ini akan tergantung pada faktor global tapi kami menilai kemungkinannya saat ini adalah cenderung menaikkan, bukan menurunkan, BI rate pada kuartal II-2024," kata Satria.
(rui/aji)