“Kalau dia di-holding-kan tujuannya untuk efisiensi dan melakukan diversifikasi produk, maka hal pertama yang harus mereka lakukan adalah meningkatkan produktivitas kebun mereka. Paling tidak minimal bisa 22 ton tandan buah segar [TBS] per hektare per tahun. Itu pertama,” ujar Sahat kepada Bloomberg Technoz, Selasa (21/3/2023).
Hal yang kedua, lanjut Sahat, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) harus memiliki tujuan jangka panjang yang jelas soal arah bisnis Palm Co.
“Sasaranya apa? Pasar ekspor atau pasar domestik? Kalau pasar ekspor, itu banyak sekali tantangannya dan juga produknya apa yang mau dibikin. Kalau hanya minyak goreng, bikin lah functional product seperti produk sawit bervitamin tinggi. Kalau minyak goreng sekarang itu enggak ada vitaminnya [sehingga kurang kompetitif untuk ekspor],” jelasnya.
Sahat tidak menampik hingga saat ini pelaku industri perkelapasawitan masih bingung dengan konsep Palm Co, serta misi pemerintah melalui pemisahan (spinoff) entitas tersebut dari PTPN III.
Masuk ke Hilir
Menurutnya, alih-alih berambisi menjadi perusahaan hulu sawit berkelanjtan terbesar dunia, Palm Co juga perlu fokus pada industri hilir kelapa sawit dengan mengembangkan produk-produk turunan yang bernilai tambah lebih dan tidak kalah dari korporasi swasta.
“Kembangkan produk hilir yang canggih. Biomass-nya, TBS, cangkang, dan lain-lainnya itu diolah, jagan dibuag. Jadikan produk seperti selulosa atau etanol. Jadinya ada nilai-nilai tambah yang tinggi,” urainya.
Permasalahan lainnya, perusahaan sawit milik negara itu juga harus bisa memenuhi syarat keberlanjutan, khususnya dalam aspek ketertelusuran. “Artinya, dari mana asalnya bisa diketahui, supaya di pasar internasional mereka bisa berjualan dengan harga bagus sehiingga profitabilitasnya tinggi.”
Pesimisme IPO
Di sisi lain, Sahat menanggapi soal rencana Palm Co untuk melantai di pasar saham setelah memisahkan diri dari induknya, PTPN III. Dia menilai rencana aksi korporasi tersebut kurang cocok ditempuh oleh perusahaan pelat merah sektor perkebunan.
PTPN III sebelumnya menyatakan Palm Co—yang dikelola PT Perkebunan Nusantara IV (PTPN IV)—membidik dana senilai Rp 8 triliun melalui penawaraan publik perdana atau initial public offering (IPO) pada kuartal IV-2023.
Mengutip publikasi Pengumuman Ringkasan Rancangan Pemisahan PTPN III dan PTPN IV yang diterbitkan holding BUMN perkebunan tersebut di media massa pada Senin, (20/3/2023), perusahaan berencana melakukan pemisahan atau spinoff tidak murni atas sebagian bisnis kelapa sawit dan karetnya kepada PTPN IV. Hal itu akan mengakibatkan peralihan sebagian aktiva dan pasiva milik perseroan.
“Sekarang di-IPO-kan itu mau harga berapa? Enggak ada harganya saya kira. BUMN sekarang itu produktivitasnya enggak tinggi-tinggi amat. Banyak yang mangkrak pabrik dan kebun mereka. Kebun di Lampug itu mangkrak, enggak ada replanting, enggak diurus,” tutur Sahat.
Bagaimanapun, dia menilai, sebenarnya perusahaan kelapa sawit pelat merah memiliki potensi tinggi untuk berkembag menyaingi taipan sawit swasta. Dengan catatan, pengelolaannya harus berorientasi bisnis selayaknya BUMN Singapura, Temasek, yang operasional bisnisnya menyerupai korporasi swasta.
“Jangan ada campur tangan negara atau politik. Komisarisnya harus dari pejabat ini itu. Kalau mau di-holding-kan, [Palm Co] harus mengubah karakter,” tegasnya.
Sebelumnya, Menteri BUMN Erick Thohir optimistis pembentukan Palm Co bakal mengungguli Sime Darby Plantations dan Golden Agri Resources sebagai perusahaan hulu sawit berkelanjutan terbesar di dunia.
Setelah IPO, Erick menjelaskan Palm Co akan disulap menjadi perusahaan hulu sawit yang dapat dijagokan untuk menopang bahan baku puluhan cabang industri hilir sektor perkebunan andalan Indonesia itu. Misi itu dilakukan melalui konsolidasi tanah milik BUMN seluas 600.000—700.000 hektare (ha) menjadi lahan perkebunan kelapa sawit.
“Tujuannya apa [konsolidasi Palm Co]? Kalau kita lihat sekarang turunan industri kelapa sawit itu sudah sampai 80 pohon industri. Success story ini juga berpengaruh kepada turunan industrinya dan kepada pengembangan industri-industri pendukungnya untuk menjaga kestabilan ekonomi nasional,” ujar Erick saat rapat kerja degan Komisi VI DPR RI, Senin (20/3/2023).
Dia mencontohkan salah satu subsektor yang potensial untuk ditunjang oleh pasokan bahan baku minyak sawit dari Palm Co nantinya adalah industri mekap atau kosmetik.
“Saat ini kita merupakan pangsa pasar industri mekap terbesar kelima dunia. Sebanyak 70% dari mekap ini produk dalam negeri. Kita mampu melakukan itu [produksi kosmetik massal di dalam negeri] karena harga bahan baku [minyak kelapa sawitnya] sudah kita kendalikan. Di sinilah mengapa kita mendorong [Palm Co] untuk dikonsolidasikan,” jelasnya.
Selain subsektor kosmetik, industri minyak goreng juga bisa menjadi salah satu lini yang disokong bahan bakunya oleh Palm Co. Terlebih, Komisi VI DPR telah mendesak agar BUMN selalu siap melakukan intervensi kapan saja saat terjadi gejolak pasokan dan harga minyak goreng di pasar domestik.
Erick tidak menampik intervensi minyak goreng oleh BUMN sejauh ini belum dapat berjalan optimal lantaran PTPN III hanya menguasai 3% dari total lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang seluas 14,99 juta hektare per 2022.
“Akibatnya, kita tidak punya kapabilitas untuk melakukan operasi pasar [minyak goreng]. Untuk itu, Palm Co ini [ditargetkan untuk] bisa mengonsolidasikan 600.000—700.000 hektare perkebunan kelapa sawit di bawah PTPN Group. Dan ini juga akan mengakibatkan Palm Co menjadi perusahaan sawit terbesar, lebih besar dari Sime Darby Plantations dari Malaysia dan Golden Agri Resources dari Singapura. Itu tujuan awal mengapa kami ingin mengonsolidasikan [perusahaan] kelapa sawit di bawah PTPN,” tegas Erick.
(wdh)