Meski demikian, warga negara dengan perekonomian kedua terbesar dunia ini masih belum membelanjakan dana mereka seperti dulu karena ada kekuatiran soal kemungkinan penerapan lagi langkah ekstrim terkait pandemik dan ketidakpastian ekonomi.
Kami pun mengukur situasi di lapangan setelah tiga bulan kebijakan Covid Zero dicabut.
1. Makan di luar dan hiburan
Konsumen China kembali beraktivitas di luar setelah tiga tahun pembatasan ketat pemerintah membuat sebagian besar dari mereka terkungkung di rumah sendiri.
Aktivitas itu terlihat sebagian pada kenaikan jumlah orang yang makan di luar rumah. Pengeluaran untuk makanan dan minuman di retoran mulai kembali ke tingkat sebelum pandemik, namun belum melebihinya.
Haidilao, salah satu jaringan restoran hot pot terbesar China, diperkirakan akan mengalami peningkatan penjualan di masa libur Tahun Baru China pada Januari lalu dibandingkan periode tahun sebelumnya ketika Covid membuat warga tidak bisa pulang kampung.
Tetapi, penjualan di restoran yang menyajikan makanan jenis hot pot yang merupakan kegiatan makan bersama populer ini, masih di bawah tingkat tahun 2021 ketika negara itu menutup diri agar virus Corona tidak masuk ke wilayahnya.
Analis senior Bloomberg Intelligence Catherine Lim mengatakan ketakukan akan Covid di kalangan warga China sudah "menurun". Tetapi kekhawatiran akan perekonomian "kini membuat mereka lebih berhati-hati dalam membelanjakan dana lebih milik mereka," ujarnya.
Libur Tahun Baru mendorong belanja konsumtif di berbagai sektor, tetapi momentum ini menurun akibat kekhawatiran terkait Covid, flu burung dan juga arah perekonomian setelah era lock-down.
Hal ini jelas terlihat di penjualana karcis bioskop. Warga China yang menonton film pada periode libur Tahun Baru selama tujuh hari naik 15 persen atau mencapai 6,8 miliar yuan (US$990 juta) dari periode yang sama di 2019.
Tetapi untuk masa yang lebih panjang, jumlah penjualan tiket bioskop masih di bawah angka sebelum era pandemi. Penjualan di 10 minggu pertama tahun 2023 naik hampir 13 persen, atau lebih dari 14 miliar yuan, dari tahun lalu tapi 12 persen lebih rendah dari 2019.
2. Belanja
Konsumen China yang selama masa pandemi tergantung pada ponsel untuk berbelanja, mulai dari makanan hingga pakaian, kini kembali mengunjungi pertokoan. Tetapi, perilaku belanja mereka berubah dan ini berpotensi menjadi perilaku tetap.
Konsumen negara ini sekarang lebih banyak mengeluarkan dana untuk wisata dan membeli barang-barang yang berkaitan dengan kesehatan, mulai dari alat olahraga hingga keanggotaan klub olahraga atau kegiatan seperti meditasi.
Perilaku ini akan berdampak pada penjualan barang-barang mewah atau tas mahal. Sebelum pandemi, China adalah sumber pembeli terbesar untuk barang-barang mewah itu. Perusahaan seperti LVMH atau pemilik Cartier Richemont akan mengawasi trend ini dengan seksama.
Penyebab lain, di luar faktor dampak pandemi atau malah menggambarkan trend yang permanen, adalah perbedaan perilaku antar generasi.
Konsultan Internasional Oliver Wyman mencatat bahwa kaum millenial sebelum Covid - mereka yang lahir antara 1981 dan 1996 - merencanakan pengeluaran besar di kesehatan dan olahraga. Sementara, generasi baby boomers yang merupakan generasi pertama China yang benar-benar terpikat dengan merk Barat, adalah kelompok yang tidak berencana berbelanja besar setelah pandemi berakhir.
Survey Oliver Wyman memperlihatkan perilaku ini menyebabkan anggaran belanja mereka untuk barang-barang mewah akan turun tajam di tahun ini.
"Harga barang-barang seperti itu belum naik, ini mengisyaratkan konsumen masih berhati-hati dengan pengeluaran mereka," ujar Jason Yu, direktur utama Kantar Worldpanel Greater China yang mengamati perilaku belanja 40 ribu keluarga di negara itu.
"Memang ada perubahan, tetapi belum pulih sepenuhnya," kata Jason.
Inggris, sebagai contoh, mencabut semua pembatasan pandemik pada Juli 2021. Data kantor statistik Inggris menunjukkan bahwa di akhir September, penjualan ritel mencapai 85 persen dari periode sama tahun 2019.
"Hambatan terbesar pemulihan di China adalah kepercayaan konsumen belum sepenuhnya pulih," ujar Larry Hu, kepala bagian ekonomi Macquaries Group.
Ketika china ragu memberi insentif berupa uang tunai kepada konsumen untuk mendorong pemulihan seperti di negara lain, perbaikan yang bersifat berkelanjutan pada sentimen dan belanja bergantung pada lapangan kerja yang lebih kuat. Pasar tenaga kerja kini masih lemah, dan data paling baru memperlihatkan kenaikan angka pengangguran, 5,6 persen pada Feebruari.
Angka pengangguran di kalangan kaum muda jauh lebih buruk, naik ke tingkat tertinggi pada enam bulan terakhir di angka 18,1 persen.
3. Barang Mahal
Pelonggaran di China ini secara perlahan mulai mendorong kembali warga untuk berpaling ke ril estate. Penjualan apartemen naik 3,5 persen pada periode Januari-Februari tahun ini setelah turun hingga 22 persen di periode yang sama 2022.
Sektor yang selama lebih dari satu dekade merupakan mesin utama perekonomian China ini hancur tahun lalu dimana gedung-gedung yang belum selesai dibangun terbengkalai dan kosong tersebar di berbagai wilayah China.
Kehancuran sektor perumahan sebagian disebabkan oleh pembatasan akibat Covid, dan kemudian disebabkan oleh bebagai masalah setelah pembatasan itu dicabut.
Penjualan rumah turun 27 persen pada desember 2022 dibandingkan tahun sebelumnya yang membuat pemerintah China mengeluarkan bantuan di awal tahun ini.
Tetapi warga China terlihat lebih ragu ketika harus melakukan pembelian barang berharga tinggi.
Penjualan mobil turun 9,4 persen dalam dua bulan pertama 2023 dibanding periode sama tahun sebelumnya.
Pasar yang padat ini - China memiliki lebih dari 200 perusahaan kendaraan listrik - tergantung pada pemintaan dan banyak dealer yang mengambil jalan pintas dengan memotong harga jual atau menawarkan insentif uang tunai untuk menarik pembeli.
Sektor kendaraan, pada seluruh kategori yang didata oleh biro statistik China, mengalami penurunan paling tinggi dalam dua bulan pertama tahun ini.
4. Wisata Internasional
Sebelum pandemi, China adalah sumber wisatawan dengan pertumbuhan tercepat di dunia sehingga tempat tujuan wisata dari Thailand hingga Italia merasakan dampak ketidakhadiran mereka dalam tiga tahun terakhir.
Kini bandara di negara itu kembali sibuk setelah pintu masuk dari luar negeri dibuka kembali pada Januari 8 lalu. Menurut pencatat data lalu lintas udara VariFlight, meski volume penerbangan internasional lebih tinggi dibanding masa penerapan pembatasan Covid tahun lalu, angka itu masih 22 persen di bawah angka sebelum pandemi.
Masih banyak rute internasional yang belum dibuka kembali meski negara itu telah membuka seluruh pintu masuk internasional. Penerbangan Amerika-China masih dibatasi 12 kali per minggu, yang merupakan warisan pembatasan di era sebelum pandemik. Kedua negara harus menyetujui upaya pencabutan pembatasan itu dan masih belum terlihat kapan langkah itu akan dilakukan.
Selain itu, sejumlah negara masih mewajibkan hasil tes Covid yang negatif untuk wisatawan dari China.
Kecepatan perbaikan di sektor ini berdampak pada sejumlah maskapai penerbangan. Spring Airlines yang merupakan maskapai murah terbesar China mengatakan bahwa permintaan untuk penerbangan ke luar negeri masih lemah sehingga menghambat upaya perbaikan perusahaan itu setelah pandemi.
Kapasitas penerbangan internasional maskapai itu hanya terisi 20 persen dari tingkat sebelum era pandemi. United Airlines juga menunda rencana menambah penerbangan tambahan di rute AS-China hingga setidaknya bulan Oktober mendatang.
Kebangkitan perjalanana udara tidak hanya terhambat oleh rendahnya jumlah penerbangan. Warga memerlukan waktu untuk merenacanakan perjalanana ke luar negeri karena banyak negara masih mewajibkan warga China mendapatkan visa untuk bisa berkunjung. Hal ini dikemukakan oleh Agnes Xu, pendiri dan kepala riset penyedia data alternatif Sandalwood Advisors.
Tiga bulan setelah secara tiba-tiba pemerintah mencabut pembatasan karena Covid, China sudah kembali buka, namun lebih berhati-hati dibanding negara lain yang menerapkan sedikit pembatasan Covid.
"Dibandingkan AS, pemulihan China setelah era Covid lebih lambat," ujar Jason Hu dari Mcquarie. "AS menerapkan belanja karena balas dendam, sementara China tidak ada itu. Kepercayaan konsumen ketika pembatasan dicabut lebih tinggi dan pemerintah juga memberi banyak subsidi. Kedua hal ini tidak terjadi di China."
"langkah perbaikan di China baru mulai."
--Dengan asistansi dari James Mayger, Daniela Wei, Danny Lee and Tom Hancock.
(bbn)