KPK pun akan terus mendorong perbaikan regulasi agar transparan dengan seluruh proses perizinan menggunakan digitalisasi.
Merujuk data dari laporan Indonesia Corruption Watch (ICW), potensi kerugian negara akibat korupsi sektor infrastruktur pada periode 2012-2022 mencapai Rp138,39 triliun.
Pada 2022, ada 250 dari 579 total kasus korupsi yang ditindak aparat penegak hukum berkaitan dengan Pengadaan Barang/Jasa (PBJ). Dari 250 kasus itu, 58% di antaranya merupakan PBJ infrastruktur, termasuk pembangunan jalan dan jembatan.
ICW yakin korupsi infrastruktur lebih tinggi di lapangan dibanding angka penindakan yang dilakukan penegak hukum.
Kasus korupsi di sektor infrastruktur di Indonesia, misalnya, proyek pembangunan dan perbaikan rel KA di Jawa, Sumatra, dan Sulawesi. Kasus itu diduga terjadi pada tahun anggaran 2021-2022. KPK menemukan indikasi pemufakatan jahat dengan penerimaan suap sebesar 5%-10% dari nilai proyek.
Selain itu, ada kasus Perum Jasa Tirta II yang merugikan negara Rp3,6 miliar dan korupsi proyek gedung IPDN Sulawesi Utara yang merugikan negara Rp19,7 miliar. Teranyar, KPK sedang menyelidiki dugaan korupsi pengadaan lahan di sekitar jalan Tol Trans Sumatera (JTSS) yang dilaksanakan PT Hutama Karya (Persero) Tahun Anggaran 2018-2020.
Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman berpendapat sektor yang seharusnya diutamakan oleh KPK yakni infrastruktur dan minerba karena jika dikelola dengan baik sektor tersebut dapat memberikan pemasukan yang tinggi terhadap negara.
Terkait tender proyek harus transparan dan kompetitif karena dalam tender proyek banyak monopoli, dapat diatur, diarahkan, dan banyak persekongkolan.
“KPK harus bisa membuat itu, tidak perlu penindakan hukum mencari orang yang korupsi karena selama ini yang paling lemah itu dalam pengadaan tender proyek,” kata Boyamin.
Sejak 2010, kata dia, Bank Dunia sebetulnya sudah mencontohkan Indonesia bagaimana pengadaan tender yang baik tapi tidak direalisasikan. Justru semakin kacau seperti tender BTS Kominfo, dan tender-tender proyek infrastruktur.
“Dalam tender proyek itu sering dinakali konsultannya ternyata kaki tangan Pimpronya, harga dibuat mahal. Tenaga ahli yang kerja dua dibuat 20 konsultan perencana dan pengawas rawan di situ banyak tindak tendernya. Kaki tangannya oknumnya,” ujarnya.
“KPK sebenarnya paham tapi tidak mampu memaksa pemerintah melakukan yang baik.”
Sementara peneliti dari Transparency International Indonesia Bagus Pradana mengungkapkan, kelima sektor tersebut butuh pengawasan terlebih sektor infrastruktur karena memiliki tata kelola yang buruk serta proyek infrastruktur menjadi bancakan elite politik untuk meraup keuntungan.
Dia berpendapat KPK bisa memaksimalkan pengawasan dengan berkolaborasi dengan lembaga swadaya masyarakat terkait kelima sektor tersebut. KPK juga dapat mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam mengawasi proyek tersebut, seperti mekanisme pelaporan atau pengaduan terhadap dugaan korupsi.
“Pada dasarnya masyarakat yang aktif merupakan satu pilar yang dapat mengoptimalkan agenda pemberantasan korupsi,” tutur Bagus.
(mfd/lav)