Berbagai rencana program kebijakan Prabowo Subianto, presiden terpilih berdasarkan hasil hitung resmi suara Komisi Pemilihan Umum, yang populis dan memakan biaya sangat besar, seperti makan siang gratis, dinilai akan menempatkan kondisi fiskal Indonesia dalam risiko lebih tinggi tahun depan.
Hal itu mempengaruhi perhitungan para investor terhadap prospek surat utang RI, terlebih ancaman lonjakan inflasi belum mereda seiring dengan kenaikan harga pangan dan inflasi importasi barang. "Investor menunjukkan kekhawatiran terkait potensi pelonggaran fiskal oleh pemerintahan baru nanti," kata Danny Suwarnapruti, ahli strategi dari Goldman Sachs.
Sejauh ini detil pembiayaan program makan siang gratis itu belum terang. Yang pasti, dalam Rancangan APBN 2025, Menteri Keuangan Sri Mulyani telah mengungkap rencana defisit APBN menjadi hingga 2,8%.
Tekanan yang terjadi saat ini sebenarnya sudah diprediksi terutama ketika hasil hitung cepat Pilpres 14 Februari menunjukkan Prabowo sebagai pemenangnya. Sejak tanggal itu, asing bahkan telah menjual sedikitnya US$1,1 miliar surat utang selama 16-2 hari setelahnya di mana itu terlihat masih berlanjut sampai saat ini.
Menurut Schroder Indonesia, pengelola dana global yang berpusat di Inggris, kebijakan yang diusung oleh presiden terpilih Prabowo Subianto terlihat cenderung lebih menguntungkan pasar saham ketimbang pasar surat utang.
Meski hal itu tidak berarti prospek surat utang RI suram sama sekali. "Dari segi valuasi, Indonesia merupakan salah satu negara paling menarik dibanding emerging market lain karena tingkat imbal hasil riil tinggi," kata Irawanti, Chief Investment Officer Schroder Indonesia.
Potensi dana asing
Dalam kajian terbaru DBS Bank yang dirilis hari ini, ada potensi pembalikan dana asing masuk ke Indonesia seiring dengan potensi pertumbuhan ekonomi RI.
"Kebijakan fiskal yang ekspansif memperlihatkan ekspektasi pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat dan dengan demikian menghasilkan imbal hasil lebih tinggi ke depan. Sejalan dengan kenaikan imbal hasil, INDOGB kemungkinan akan kembali menarik minat investor asing," kata Samuel Tse, Ekonom DBS Bank seperti dikutip dari Bloomberg News.
Saat ini, selisih imbal hasil surat utang RI dengan Amerika Serikat, Treasury, berada di kisaran 250 bps, diuntungkan oleh penurunan yield US Treasury. Selisih imbal hasil yang dinilai kompetitif oleh investor ada di kisaran 300-350 bps mengingat perbedaan peringkat kredit antara Indonesia dan Amerika.
Yield spread obligasi RI masih lebih rendah dibanding dengan India, misalnya, yang saat ini masih sekitar 283 bps. Terlebih bila dibanding negara-negara emerging market di kawasan Amerika Latin yang selisihnya bisa di atas 500 bps.
Kepemilikan asing di SBN masih belum kembali seperti era prapandemi di mana kala itu proporsinya mencapai 40%. Sejauh ini, kepemilikan asing masih stagnan di 14%-15%.
(rui/ain)