Bloomberg Technoz, Jakarta - Pasar surat utang negara pada tiga bulan pertama tahun ini belum bernasib baik. Arus keluar modal asing yang tinggi telah menjatuhkan pamor aset pendapatan tetap ini dan akhirnya turut menekan harga obligasi korporasi.
Sepanjang tahun ini sampai perdagangan kemarin, Rabu (27/3/2024), indeks yang mengukur harga obligasi pemerintah, IDMA Index, tergerus 3,7% year-to-date di mana selama Maret penurunannya sekitar 0,5%.
Sementara indeks yang mengukur total keuntungan obligasi korporasi Indonesia dan obligasi pemerintah, masih mencatat pertumbuhan positif masing-masing 1,77% dan 1,09% year-to-date. Alhasil IBPA Indonesia Composit Bond Index (ICBI) masih membukukan pertumbuhan positif 1,13% pada periode yang sama dan mencetak kenaikan tipis 0,12% selama Maret sampai perdagangan kemarin.
Tekanan yang berlangsung di pasar surat utang negara terlihat masih besar dengan aksi pemodal asing yang masih membukukan posisi jual bersih sejauh ini. Imbal hasil surat utang negara, INDOGB 10Y, misalnya, yang menjadi acuan, naik sampai 25,3 bps ke level 6,73% akibat tekanan jual. Asing bahkan menjual surat utang negara senilai Rp5,28 triliun dalam satu hari perdagangan 25 Maret lalu, berdasarkan data yang dilansir Kementerian Keuangan.
Pasar surat utang RI diperkirakan masih akan menghadapi sentimen yang membebani ke depan dengan kini rupiah terus melemah dan mungkin akan memaksa Bank Indonesia menempuh kebijakan yang dramatis, misalnya mengubah kebijakan bunga acuan, menurut perkiraan ekonom. Bunga acuan diperkirakan masih akan bertahan tinggi. Terutama bila ketidakpastian global masih berlanjut sementara dari dalam negeri pasar juga dibebani oleh kekhawatiran seputar risiko fiskal pada pemerintahan baru mendatang.
Berbagai rencana program kebijakan Prabowo Subianto, presiden terpilih berdasarkan hasil hitung resmi suara Komisi Pemilihan Umum, yang populis dan memakan biaya sangat besar, seperti makan siang gratis, dinilai akan menempatkan kondisi fiskal Indonesia dalam risiko lebih tinggi tahun depan.
Hal itu mempengaruhi perhitungan para investor terhadap prospek surat utang RI, terlebih ancaman lonjakan inflasi belum mereda seiring dengan kenaikan harga pangan dan inflasi importasi barang. "Investor menunjukkan kekhawatiran terkait potensi pelonggaran fiskal oleh pemerintahan baru nanti," kata Danny Suwarnapruti, ahli strategi dari Goldman Sachs.
Sejauh ini detil pembiayaan program makan siang gratis itu belum terang. Yang pasti, dalam Rancangan APBN 2025, Menteri Keuangan Sri Mulyani telah mengungkap rencana defisit APBN menjadi hingga 2,8%.
Tekanan yang terjadi saat ini sebenarnya sudah diprediksi terutama ketika hasil hitung cepat Pilpres 14 Februari menunjukkan Prabowo sebagai pemenangnya. Sejak tanggal itu, asing bahkan telah menjual sedikitnya US$1,1 miliar surat utang selama 16-2 hari setelahnya di mana itu terlihat masih berlanjut sampai saat ini.
Menurut Schroder Indonesia, pengelola dana global yang berpusat di Inggris, kebijakan yang diusung oleh presiden terpilih Prabowo Subianto terlihat cenderung lebih menguntungkan pasar saham ketimbang pasar surat utang.
Meski hal itu tidak berarti prospek surat utang RI suram sama sekali. "Dari segi valuasi, Indonesia merupakan salah satu negara paling menarik dibanding emerging market lain karena tingkat imbal hasil riil tinggi," kata Irawanti, Chief Investment Officer Schroder Indonesia.
Potensi dana asing
Dalam kajian terbaru DBS Bank yang dirilis hari ini, ada potensi pembalikan dana asing masuk ke Indonesia seiring dengan potensi pertumbuhan ekonomi RI.
"Kebijakan fiskal yang ekspansif memperlihatkan ekspektasi pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat dan dengan demikian menghasilkan imbal hasil lebih tinggi ke depan. Sejalan dengan kenaikan imbal hasil, INDOGB kemungkinan akan kembali menarik minat investor asing," kata Samuel Tse, Ekonom DBS Bank seperti dikutip dari Bloomberg News.
Saat ini, selisih imbal hasil surat utang RI dengan Amerika Serikat, Treasury, berada di kisaran 250 bps, diuntungkan oleh penurunan yield US Treasury. Selisih imbal hasil yang dinilai kompetitif oleh investor ada di kisaran 300-350 bps mengingat perbedaan peringkat kredit antara Indonesia dan Amerika.
Yield spread obligasi RI masih lebih rendah dibanding dengan India, misalnya, yang saat ini masih sekitar 283 bps. Terlebih bila dibanding negara-negara emerging market di kawasan Amerika Latin yang selisihnya bisa di atas 500 bps.
Kepemilikan asing di SBN masih belum kembali seperti era prapandemi di mana kala itu proporsinya mencapai 40%. Sejauh ini, kepemilikan asing masih stagnan di 14%-15%.
(rui/ain)