Anjloknya minat asing berinvestasi di aset-aset pasar keuangan Indonesia berlangsung sejurus dengan kenaikan premi risiko investasi RI. Credit Default Swap (CDS) 5 tahun Indonesia naik ke 72,34, posisi tertinggi sejak pengumuman hasil Pemilu dan Pilpres pada 20 Maret lalu. Sedangkan CDS 10 tahun, bahkan menyentuh level tertinggi sejak 14 Februari, di 125,34.
Kenaikan CDS mengindikasikan premi yang diminta oleh pemodal yang berinvestasi di Indonesia semakin mahal, mencerminkan penilaian risiko atas investasi di negeri ini dinilai meningkat.
"Kami melihat adanya tekanan jangka pendek dari kekuatan dolar AS terhadap rupiah, ditambah ketidakpastian sentimen pasar surat utang dan masih kuatnya permintaan dolar AS di pasar domestik," kata Mitul Kotecha, Head of FX and EM Macro Strategy di Barclays, seperti dilansir dari Bloomberg News.
Sentimen negatif dari pasar surat utang akibat aksi jual pemodal asing yang belum terjeda, menurutnya, tidak terlepas dari kekhawatiran terhadap postur fiskal Indonesia di bawah pemerintahan baru mendatang berikut kepastian nama-nama yang akan menghuni kursi kabinet pemerintahan presiden terpilih Prabowo Subianto.
Menyeret Rupiah
Pagi ini, rupiah offshore, kontrak Non Deliverable Forward (NDF) 1 bulan sudah menyentuh Rp15.903/US$ pada pukul 08:08 WIB, Kamis hari ini (28/3/2024), setelah semalam ditutup melemah cukup dalam di Rp15.893/US$ pada penutupan bursa New York.
Pergerakan rupiah offshore biasanya mempengaruhi juga dinamika rupiah di pasar spot. Rupiah saat ini bukan hanya tertekan sentimen jual pemodal asing di pasar saham maupun surat utang, rupiah juga dibebani oleh seretnya suplai dolar AS di pasar seiring kedatangan musim pembayaran dividen korporasi. Juga, jatuh tempo utang luar negeri.
Hitungan Citigroup beberapa waktu lalu, nilai dividen yang dibagikan oleh korporasi di pasar saham domestik pada para investor asing mencapai US$2,4 miliar atau sekitar Rp37,3 triliun, dalam tiga bulan ke depan.
Selain itu, rupiah juga semakin sulit bangkit karena sentimen regional pun membebani pamornya. Kejatuhan nilai yen terhadap dolar AS ke level terendah dalam 34 tahun menyeret mata uang Asia ikut melemah. Begitu juga yuan Tiongkok yang masih lesu membuat mata uang regional semakin kehilangan daya tarik.
"Kedua mata uang ini merupakan jangkar perdagangan Asia, dan dengan demikian depresiasinya akan menyebabkan pelemahan lebih lanjut pada mata uang negara-negara berkembang, termasuk rupiah, untuk menjaga daya saing persyaratan perdagangan," kata Head of Equity Research Satria Sambijantoro dan Analyst Drewya Cinantyan.
Bank Indonesia dipastikan sibuk berjaga di pasar hari-hari ini mengantisipasi agar level psikologis rupiah tidak sampai jebol. Bank sentral masih melanjutkan intervensi dalam tiga jurus yaitu intervensi di pasar spot, pasar domestik NDF dan pasar surat utang.
"Rupiah masih terkendali," kata Edi Susianto, Direktur Eksekutif Pengelolaan Moneter Bank Indonesia.
Rilis data AS yang berada di atas ekspektasi pasar, menyebabkan persepsi pasar terhadap ekonomi AS dinilai masih kuat. Hal itu membuat ekspektasi penurunan bunga The Fed baik secara waktu maupun magnitude mengalami penurunan. Kondisi itu menyebabkan investor asing menarik dananya di pasar emerging market termasuk dari Indonesia.
“Tentu dampak lanjutannya menimbulkan tekanan terhadap nilai tukar. Bank Indonesia tentu selalu berada di pasar untuk menjaga keseimbangan supply-demand valas di pasar,” kata Edi.
(rui/aji)