“Kami lihat sektor untuk kredit produktif sehingga insentif likuiditas diberi BI benar-benar dorong perekonomian nasional,” ucapnya.
Selain itu, ia juga menilai penguatan Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan masih belum maksimal. Oleh karena itu, pihaknya tengah menyusun kebijakan makroprudensial berupa optimalisasi pembiayaan non tradisional dengan depankan aspek prudensial yang terjaga.
Selanjutnya, dalam konteks ketahanan siber, BI tengah finalisasi kebijakan Ketahanan dan Keamanan Siber (KKS) yang memuat penguatan tata kelola perbankan dari risiko siber, termasuk pencegahan ketika terjadi insiden penyerangan siber.
“Penanganan ketika insiden serangan cyber itu terjadi, termasuk mekanisme koordinasi otoritas dan industri serta monitoring dan pengawasannya,” lanjutnya.
Sementara itu, terkait sistem keuangan dan ekonomi yang inklusif dan hijau, pihaknya akan terus meningkatkan penyaluran kredit ke sektor hijau, seperti kebijakan green down payment yang mendukung percepatan perkembangan kendaraan listrik RI.
Pada kesempatan itu, Juda juga meluncurkan Kajian Stabilitas Keuangan (KSK) Nomor 42 edisi Maret 2024 dengan beberapa tujuan. Yakni, sebagai sistem peringatan dini kepada industri, masyarakat, hingga otoritas terkait mengenai risiko-risiko yang dapat menganggu stabilitas sistem keuangan.
Selain itu, KSK juga diharapkan bisa membangun kepercayaan konsumen terhadap stabilitas sistem keuangan. Serta, sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas BI sebagai salah satu otoritas terkait.
“Hal yang tentu saja bersama dengan otoritas lain seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kementerian Keuangan, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Itu memiliki akuntabilitas terhadap terjaganya stabilitas sistem keuangan di Indonesia,” ucap Juda.
(azr/lav)