RKAB timah yang direstui Kementerian ESDM berasal dari 12 badan usaha dengan kapasitas produksi 44.481,63 ton untuk periode 2024—2026.
Dalam kaitan itu, Rizal menjelaskan Indonesia termasuk ke dalam dua besar negara pemasok logam timah, yang kebanyakan berasal dari Kepulauan Bangka Belitung dan Kepulauan Riau.
Namun, lanjutnya, terdapat laporan yang mengatakan bahwa kinerja pertambangan timah di Kepulauan Bangka Belitung anjlok pada 2024, salah satu penyebabnya berkaitan dengan kasus korupsi TINS.
“Memang akhir-akhir ini kita mendapatkan informasi adanya beberapa kasus yang sedang disidik oleh APH [aparat penegak hukum]. Mudah-mudahan, kasus ini bisa segera diselesaikan sehingga geliat produksi timah dapat berlanjut kembali. Pembenahan tata kelola komoditas timah perlu dilakukan agar semua berjalan sesuai koridor hukum yang berlaku,” ujarnya.
Mengutip laporan Badan Geologi pada 2022, potensi sumber daya bijih timah Tanah Air mencapai 7,4 miliar ton atau setara 2,5 juta ton logam timah. Sementara itu, cadangan tertakarnya sebanyak 6,9 miliar ton bijih timah atau setara 2,25 juta ton logam timah.
Data yang ada menunjukkan bahwa jumlah cadangan yang bisa ditambang sebenarnya cukup besar, tetapi mayoritas cadangan tersebut berada dalam konsesi PT Timah.
Mengutip data International Tin Association (ITA), PT Timah merupakan produsen timah olahan ke-5 terbesar di dunia dengan hasil produksi 15.300 ton atau turun 22,7% dari tahun 2022 sebesar 19.800 ton.
Yunnan Tin dari China merupakan produsen terbesar nomor wahid dengan produksi 80.100 ton pada 2023 atau meningkat 3,9% dari 2022 sebesar 77.100 ton.
Adapun, total produksi dari 10 produsen teratas pada 2023 adalah 219.600 ton atau meningkat 0,41% dari 2022 yang sebanyak 218.700 ton. Produksi dari TINS menyumbang 6,97% dari total produksi 10 produsen teratas dunia pada 2023.
Dari sisi permintaan, ITA memperkirakan konsumsi timah olahan per 2022 menurun 3,2% menjadi 376.900 ton dari tahun sebelumnya, imbas kenaikan inflasi yang pesat pascapandemi Covid-19.
Survei tersebut menunjukkan berlanjutnya kontraksi pada permintaan timah dunia sebesar 1,6% pada 2023 menjadi 371.000 ton karena dampak negatif inflasi diimbangi dengan peningkatan teknologi timah pada panel surya, kendaraan listrik, dan digitalisasi.
Berbagai faktor ekonomi makro juga dinilai berdampak negatif terhadap proyeksi permintaan timah, sehingga membalikkan sebagian besar pemulihan permintaan timah dunia sejak 2021.
(wdh)