“PLN melakukan validasi, setelah validasi harus ada surat mengetahui dari unsur pemerintahan desa. Iitu mereka tidak mau tanda tangan hasil validasi tersebut, padahal sudah divalidasi oleh PLN,” ujar Bambang kepada Bloomberg Technoz.
Dalam agenda RDP yang sama, anggota Komisi VII Mercy Chriesty Barends juga mengatakan adanya dugaan politisasi yang dilakukan oleh otoritas di tingkat desa dalam penyaluran ALM atau rice cooker.
Senada dengan Bambang, Mercy mengatakan kepala desa takut kepada bupati/wali kota yang berasal dari partai politik yang berbeda dengan dirinya.
“Kepala desa melihat kami sebagai anggota DPR dengan bendera [partai politik] kami masing-masing. Program menjadi terdiskriminasi karena pilihan politik kami berbeda dengan kepala desa. Sebab, kepala desa takut kepada bupati/wali kota yang bukan satu bendera dengan kita,” ujar Mercy.
Dalam paparannya, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan ESDM Jisman Hutajulu memaparkan surat validasi kepala desa diperlukan sebagai akuntabilitas pertanggungjawaban pengalokasian anggaran bantuan pemerintah kepada masyarakat.
Hal ini sebagaimana termaktub dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 62/2023 tentang Perencanaan Anggaran, Pelaksanaan Anggaran, serta Akuntansi dan Pelaporan Keuangan.
“Diberikan kemudahan untuk dapat ditandatangani oleh pejabat setingkat desa/lurah atau pejabat setempat dengan tingkat hierarki yang lebih tinggi, seperti camat atau bupati. 1 surat validasi kepala desa dapat memuat banyak calon penerima,” ujar Jisman.
Adapun, realisasi penyaluran program pembagian AML atau rice cooker gratis dilaporkan mencapai 342.621 rumah tangga hingga akhir 2023, atau masih 68,5% dari total target penyaluran yang sebanyak 500.000 unit.
Realisasi anggaran sebesar Rp176,06 miliar dari pagu penyediaan AML sebesar Rp322,5 miliar. Dengan demikian, terdapat sisa anggaran sebesar Rp146,44 miliar.
“Sisanya Rp146 miliar menjadi sisa lebih pembiayaan anggaran [silpa],” kata Jisman.
(dov/wdh)