Dikutip dari data Tim Riset Bloomberg Technoz, rupiah dibuka melemah tipis dalam perdagangan pagi ini di pasar spot, Senin (25/3/2024) kendati sinyal di pasar offshore pekan lalu menunjukkan potensi kejatuhan nilai mata uang Indonesia ini menjebol level psikologis di Rp15.800-an/US$.
Pagi ini rupiah masih 'ditahan' di level Rp15.785/US$ ketika mata uang Asia mayoritas bergerak menguat menyusul langkah PBOC, bank sentral China, menetapkan kurs yuan di level lebih kuat dibandingkan prediksi pasar.
Rupiah yang dikepung bukan hanya oleh sentimen eksternal melainkan juga oleh aksi jual pemodal asing di surat utang yang masih terus meningkat sejurus dengan kenaikan tajam premi risiko berinvestasi di Indonesia, menghadapi risiko lebih besar untuk terperosok hari ini.
Namun, melihat yang terjadi pagi ini, sepertinya Bank Indonesia tidak mau mengambil risiko membiarkan rupiah langsung terseret jatuh. Kurs NDF rupiah yang pagi tadi masih di kisaran Rp15.838/US$ langsung terangkat ke kisaran Rp15.700-an, tepatnya di Rp15.799/US$ pada pukul 10:09 WIB.
Meski sudah diintervensi, kurs dolar AS kini diperdagangkan mendekati 'garis batas BI' yang bisa mendorong bank sentral menempuh beberapa tindakan tegas seperti kenaikan tiba-tiba bunga acuan BI Rate, kata analis Bahana Sekuritas. "Ingat ketika terakhir kali terjadi kenaikan BI rate di luar konsensus pada 19 Oktober lalu, ketika itu nilai tukar rupiah baru saja menembus level Rp15.800/US$," kata Head of Equity Research Satria Sambijantoro dan Analyst Drewya Cinantyan dalam catatannya pagi ini.
Ada beberapa faktor yang bisa membawa situasi itu kembali lagi saat ini meski beberapa di antaranya relatif tidak terlalu membebani rupiah.
Dari dalam negeri di antaranya adalah faktor musiman peningkatan permintaan dolar AS jelang musim pembagian dividen korporasi juga jatuh tempo utang luar negeri. Meski sepertinya kebanyakan korporasi sudah menumpuk stok kebutuhan dolar AS jauh-jauh hari. Ditambah juga, "Ketidakpastian mengenai prospek politik menyebabkan beberapa perusahaan memilih untuk memulangkan pendapatan mereka daripada menginvestasikannya kembali di dalam negeri," kata Bahana Sekuritas.
Terkait arus perdagangan internasional, Satria mengamati bahwa pasokan-permintaan valas saat ini tampak lebih sehat dibandingkan Oktober tahun lalu, berkat lonjakan harga CPO, batu bara, dan nikel baru-baru ini. Sementara itu, impor bahan bakar dan barang konsumsi untuk lebaran yang tinggi secara siklus telah diatasi.
Menurut dia, sebagian besar pelemahan rupiah berasal dari aliran keuangan, dengan pasar obligasi mencatatkan jual bersih Rp8,2 triliun pada 18-21 Maret, dibandingkan dengan beli bersih Rp1,7 triliun di pasar ekuitas.
Dari faktor eksternal, penguatan jangka pendek dolar AS memicu pelemahan mata uang negara berkembang secara luas, terutama karena ekonomi AS dipandang lebih kuat dibandingkan negara-negara G7 dengan skenario 'tidak ada pendaratan' atau no landing yang kemungkinan akan terwujud lagi pada 2024.
Selain itu, kenaikan dovish dari bank sentral Jepang dan lemahnya penetapan mata uang dari PBOC di China menyebabkan penurunan yen Jepang dan yuan China. Kedua mata uang ini merupakan jangkar perdagangan Asia, dan dengan demikian depresiasinya akan menyebabkan pelemahan lebih lanjut pada mata uang negara-negara berkembang, termasuk rupiah, untuk menjaga daya saing persyaratan perdagangan.
(lav)