Perinciannya, 48% kebutuhan nikel dunia yang mencapai 4 juta ton pada 2040 digunakan untuk baja nirkarat, 30% untuk baterai, 4% untuk pengecoran 3% untuk baja paduan, 5% untuk pelapisan, dan 10% untuk paduan nonbesi.
Lebih lanjut, Djoko memaparkan, pabrik pengolahan berbasis high pressure acid leaching (HPAL) terus bertumbuh sejak 2021 dan membutuhkan sekitar 115.000 ton nikel per tahun.
Kebutuhan untuk smelter HPAL tersebut diproyeksi makin melesat pada 2027 guna memenuhi permintaan baterai untuk EV. Pada 2030, dibutuhkan tambahan cadangan nikel sekitar 230.000 ton per tahun.
Namun, cadangan nikel diproyeksikan menurun sekitar 200.000 ton per tahun pada 2029—2040, padahal dunia membutuhkan cadangan baru mencapai 1,7 juta ton pada 2040.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan cadangan nikel saprolite di Indonesia masih akan bertahan hingga 13 tahun ke depan, sementara nikel limonite cukup hingga 33 tahun ke depan.
“Ketahanan cadangan nikel kita, saprolite ini kira-kira kita masih punya 13 tahun, limonite kita masih ada sekitar 33 tahun,” ujar Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Ing Tri Winarno di Komisi VII DPR RI, Selasa (19/3/2024).
Saprolite merupakan nikel kadar tinggi dan banyak diolah melalui sistem rotary kiln electric furnace (RKEF). Nikel ini menghasilkan produk berupa nickel pig iron (NPI), feronikel (FeNi), atau nickel matte untuk bahan baku baja nirkarat.
Sementara itu, limonite merupakan nikel kadar rendah yang umumnya diolah melalui sistem HPAL untuk menghasilkan mixed hydroxide precipitate (MHP) yang dibutuhkan untuk bahan baku baterai kendaraan listrik.
(wdh)