Menurut Adit, akan banyak peluang yang terjadi untuk memperebutkan kursi Ketua DPR. PDIP bisa saja ditawari beberapa menteri kemudian Partai Golkar yang akan mendapatkan kursi DPR. Sayangnya, Golkar bukan merupakan partai utama pengusung pencapresan Prabowo Subianto. Masih ada Partai Gerindra.
“Rumitnya di situ. Kecuali kalau Gerindra yang minta kepada Golkar untuk itu kemudian kompensasinya ada di kursi menteri, misalnya, nah kita nggak tahu soalnya,” tambah dia.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus memiliki pandangan berbeda. Lucius menyebut akan selalu ada kemungkinan, bahkan kejutan. Salah satunya, Golkar yang meraih suara kedua, atau selisih tipis dengan PDIP, mendapatkan jumlah kursi lebih banyak dari PDIP.
“Kalau faktanya nanti konversi suara ke kursi tetap menempatkan PDIP sebagai pemilik kursi terbanyak, maka sangat mungkin akan muncul dinamika politik yang di luar dugaan. Apalagi jika PDIP tetap bersikukuh mengambil posisi sebagai oposisi,” kata dia.
Revisi UU MD3, kata Lucius, adalah hal paling mudah dan kerap dilakukan DPR. Sejak 2014, UU MD3 telah direvisi sebanyak dua kali. Dua kali revisi dilakukan hanya untuk kepentingan bagi-bagi jatah kursi pimpinan baik di DPR (revisi tahun 2018) dan di MPR (2019).
“Jadi soal peluang merubah UU MD3 untuk mengganggu PDIP jika menjadi peraih kursi parlemen terbanyak, ya sangat-sangat mungkin” ucap dia.
“Hampir pasti itu akan terjadi jika sebagai peraih kursi terbanyak, posisi PDIP juga tetap menjadi oposisi.”
Menurut Lucius, parpol pendukung pemerintah Prabowo-Gibran akan sangat berkepentingan memastikan kendali parlemen di bawah genggaman mereka. Dengan demikian, merevisi UU MD3 mungkin akan terjadi dalam waktu enam bulan ke depan.
“Untuk urusan terkait dengan kepentingan parpol, nggak ada yang terlalu berat untuk dilakukan. Kalau perlu dalam seminggu, mereka bisa bersepakat mengubah aturan UU MD3 tentang mekanisme pemilihan pimpinan itu,” papar Lucius.
UU MD3 memang bukan produk hukum tetap. DPR bisa sewaktu-waktu mengubah atau merevisi aturan tersebut. Bukan tak mungkin rumusan UU MD3 kembali seperti 2009.
Rumusan lama ini yang membawa Golkar meraih kursi Ketua DPR 2014-2019, padahal berada di posisi kedua dengan 14,75% suara. PDIP berada di posisi pertama kala itu, dengan selisih tinggi yaitu 18,95% suara nasional.
Golkar berhasil memimpin DPR karena rumusan lama menetapkan tolak ukur pada dukungan di internal. Pada saat itu, Golkar bersama partai oposisi pemerintah menguasai 51,96% suara DPR.
(mfd/wep)