Menarik untuk menilik sejumlah janji kampanye Prabowo-Gibran, dan apakah janji-janji itu realistis untuk diwujudkan. Pertama adalah program makan siang dan susu gratis bagi siswa sekolah. Program ini bisa dibilang flagship, unggulan Prabowo-Gibran.
Eddy Soeparno, Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Gibran, menyebut program tersebut akan menyasar sekitar 80 juta siswa. Dalam wawancara bersama Bloomberg Television, Eddy mengungkapkan program makan siang dan susu gratis diperkirakan menelan biaya lebih dari Rp 400 triliun.
Kemungkinan paket makan siang gratis ini akan berbiaya Rp 15.000/siswa. Dikalikan dengan 80 juta siswa, maka biaya yang dikeluarkan adalah Rp 1,2 triliun per hari.
Dalam setahun, kira-kira ada 200-245 hari belajar efektif. Jadi dalam setahun, kebutuhan anggarannya mencapai Rp 240-294 triliun.
Oleh karena itu, ada risiko pembengkakan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ketika program ini dieksekusi. Investor asing di pasar keuangan menunjukkan kecemasan tersebut.
“Investor merasakan kekhawatiran terhadap risiko pelonggaran fiskal dari pemerintahan baru, karena mereka menjanjikan program makan siang gratis tanpa menunjukkan detil bagaimana itu bisa diterapkan,” ungkap riset Goldman Sachs, seperti dikutip dari Bloomberg News.
“Meski ada dampak positif terhadap kesehatan dalam jangka panjang, tetapi penting bahwa ekspansi fiskal harus dilakukan secara berkelanjutan. Kita harus melihat bagaimana janji-janji ini dipenuhi dengan hati-hati,” tegas Jon Harrison, Managing Director di GlobalData TS Lombard yang berbasis di London, juga diwartakan Bloomberg News.
Renovasi Rumah di Desa
Kedua adalah janji Prabowo-Gibran untuk membangun desa. Ini dilakukan dengan membangun atau merenovasi 40 rumah per desa per tahun.
"Membangun dari desa menjadi strategi utama dalam pembangunan nasional. Untuk itu, program terkait pembangunan desa yang sudah dilaksanakan harus dilanjutkan dan ditingkatkan, termasuk membangun rumah murah dengan sanitasi baik untuk masyarakat yang membutuhkan, menyalurkan dana desa secara langsung, dan dana kelurahan. Ditargetkan untuk dapat membangun/merenovasi rumah sebanyak 40 rumah per desa/kelurahan per tahun dengan total nasional mencapai 3 juta rumah mulai pada tahun kedua," sebut dokumen visi-misi Prabowo-Gibran.
Mengutip informasi di situs rumah123.com, estimasi biaya renovasi untuk rumah seluas 40 meter persegi dengan spesifikasi termurah adalah Rp 33,88 juta. Jadi anggaran untuk renovasi 40 rumah adalah Rp 1,35 miliar.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat terdapat 83.794 desa di seluruh Indonesia per 2022. Oleh karena itu, anggaran untuk renovasi 40 rumah di seluruh desa menjadi Rp 113,56 triliun.
Badan Penerimaan Negara
Ketiga, Prabowo-Gibran Gibran menjanjikan pendirian Badan Penerimaan Negara. "Itu adalah Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai melebur jadi satu dan langsung di bawah presiden," ujar Gibran dalam debat cawapres di Jakarta, Jumat (22/12/2023).
Sejatinya, pemisahan ini merupakan salah satu janji kampanye Presiden Jokowi. Bahkan awalnya badan otonom pajak direncanakan sudah terbentuk pada 2017.
Bank Pembangunan Asia (ADB) pada 2014 melakukan kajian tentang kebijakan pajak di beberapa negara. Salah satu temuan ADB adalah masih minimnya kinerja penerimaan pajak di Indonesia.
Dalam hal sumber daya manusia, Ditjen Pajak memang memiliki jumlah personel yang cukup banyak dibandingkan negara-negara tetangga. Namun rasio antara petugas pajak dengan populasi di Indonesia sangat timpang.
Dengan beban yang begitu berat (satu petugas pajak mengadministrasikan 3.736 wajib pajak), tidak heran penerimaan pajak nasional kurang optimal. Dibandingkan dengan negara-negara tetangga, penerimaan pajak Indonesia masih tertinggal.
Penerimaan pajak masih menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia. Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mencatat rasio penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau tax ratio di Indonesia masih rendah.
"Rasio penerimaan pajak terhadap PDB di Indonesia adalah 10,1% pada 2020. Di bawah rata-rata Asia-Pasifik (28 negara) yang sebesar 19,1%. Juga di bawah rata-rata negara OECD yakni 33,5%," sebut riset OECD.
Salah satu kesimpulan riset ADB adalah kinerja perpajakan di Indonesia memang belum baik, paling mudah melihat perbandingannya terhadap PDB. Salah satu penyebabnya adalah kewenangan yang dimiliki administrasi perpajakan Indonesia tidak cukup fleksibel, karena masih di bawah kendali Kementerian Keuangan.
(aji)