Akan tetapi, perlu dicermati bahwa kelegaan pasar itu kemungkinan akan kembali goyah ke depan menyusul sinyal lain yang muncul dari kenaikan proyeksi tingkat bunga The Fed jangka panjang. Euforia pasar hari ini mungkin tidak akan cukup lama bertahan.
Hasil FOMC menyatakan, perkiraan tingkat suku bunga jangka panjang menghasilkan median 2,6%, naik dari median sebelumnya 2,5%. Perubahan itu menyiratkan bahwa suku bunga harus tetap lebih tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama di masa depan.
Hal itu sebagai buntut dari reakselerasi inflasi AS pada dua bulan pertama tahun ini yang mengerek proyeksi inflasi inti PCE (Personal Consumption Expenditure) AS tahun ini menjadi 2,6% dan headline PCE tahun depan menjadi sebesar 2,2%.
"Pergerakan [pasca hasil FOMC] tersebut belum mempertimbangkan [priced in] dampak dari revisi proyeksi suku bunga The Fed yang dinaikkan tidak hanya untuk 2025 dan 2026, tapi juga untuk jangka panjang. Penyesuaian berpeluang terjadi setelah pengumuman inflasi PCE pada Jumat pekan depan," kata tim Macroeconomic and Fixed Income Research Mega Capital Sekuritas dalam catatannya, Kamis (21/3/2024).
Apabila angka inflasi PCE lebih tinggi ketimbang prediksi, ketidakpastian baru akan kembali mengemuka dan pasar mungkin akan kembali ragu dengan prospek penurunan bunga The Fed tahun ini.
Gubernur The Fed Jerome Powell menyatakan, para pembuat kebijakan membutuhkan kepercayaan diri lebih besar dalam menentukan kapan penurunan bunga akan dimulai. Powell bilang, The Fed memberi perhatian pada dua sisi yang menjadi mandatnya dan akan merespon apabila terjadi pelemahan yang tidak terduga di pasar tenaga kerja.
Dot plot FOMC terbaru menunjukkan The Fed memperkirakan tiga kali penurunan bunga acuan lagi tahun ini, tidak berubah dari dot plot sebelumnya. Namun, perkiraan median untuk 2025 naik dari 3,6% menjadi 3,9%.
Menurut Satria Sambijantoro, Head of Equity Research Bahana Sekuritas, agak membingungkan ketika The Fed mempertahankan dot plot tiga kali penurunan ketika pada saat yang sama mereka mengerek proyeksi pertumbuhan ekonomi AS dan inflasi PCE inti. "Kami perkirakan penurunan bunga The Fed sebesar 50 bps tahun ini," katanya dalam catatan pasca pengumuman hasil FOMC.
Pelaku pasar swap bergerak jadi lebih optimistis memperkirakan dimulainya pivot The Fed pada Juni nanti dengan probabilitas mencapai 72%, naik dari sebelumnya 55%. Namun, ada rentang cukup panjang sampai FOMC pada 12 Juni nanti.
"Menurut kami data lapangan kerja dan inflasi, atau risiko minyak dan geopolitik, masih dapat memberi kejutan positif," kata Satria.
Sampai ada sinyal lebih jauh bahwa inflasi AS melandai di jalur yang meyakinkan, ketidakpastian pasar masih akan besar bahkan ketika The Fed memberikan sedikit kenyamanan bagi pasar dalam pernyataannya tadi malam.
Kepala Ekonom Bloomberg Economics untuk Amerika Anna Wong, menilai, dari hasil FOMC tadi malam, dimulainya penurunan bunga The Fed pada Juni lebih mungkin terjadi. Namun, dot plot tahun 2025 mengimplikasikan penurunan bunga lebih sedikit tahun depan dan lebih banyak pada 2026.
"Median untuk 2025 menjadi 3,9% dari tadinya 3,6% dan pada 2026 menjadi 3,1% dari 2,9%, berarti pemotongan sebesar 70 bps tahun depan dari semula diperkirakan sebanyak 100 bps dan sebanyak 80 bps pada 2026 dibandingkan sebelumnya 70 bps," kata Anna.
Sementara dot plot 2025 yang direvisi jadi 2,6% dari semula 2,5% menurutnya sangat sulit terjadi mengingat sembilan anggota The Fed yang memberi suara masih melihat tingkat bunga netral di angka 2,5% atau lebih rendah.
Wong menambahkan, yang terpenting dalam pernyataannya, Powell tidak menampik gagasan bahwa The Fed bisa menurunkan bunga secepatnya pada Mei atau Juni apabila para pembuat kebijakan melihat penurunan 'tak terduga' di pasar tenaga kerja.
"Mengingat optimisme FOMC terhadap tingkat pengangguran, peserta FOMC menurunkan prediksi angka pengangguran jadi 4% dari tadinya 4,1%. Menurut kami, The Fed dapat dengan mudah menerima kejutan penurunan tingkat pengangguran dalam beberapa bulan ke depan," katanya.
Intinya, menurut ekonom Bloomberg, meski FOMC bulan ini mempertahankan ekspektasi 75 bps tahun ini, sebagian besar perubahan dalam ringkasan proyeksi ekonomi yang diperbarui menunjukkan bahwa The Fed bergerak bertahap ke arah pandangan bahwa tingkat bunga netral mungkin lebih tinggi daripada sebelumnya. Oleh karena itu, suku bunga acuan harus tetap lebih tinggi dalam jangka waktu lebih lama. "Kami pertahankan prediksi kami bahwa pivot The Fed akan dimulai pada Juni 2024," kata Wong.
Efek ke Indonesia
Dengan sinyal terbaru The Fed yang menaikkan ekspektasi pasar bahwa pivot bunga akan terjadi mulai Juni nanti, akan menjadi kabar baik juga bagi Bank Indonesia.
Dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur kemarin, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyatakan lebih gamblang bahwa penurunan BI rate tidak bisa dilakukan sebelum The Fed bergerak, menunjuk pada besarnya risiko yang dihadapi oleh nilai tukar rupiah ketika penurunan bunga domestik mendahului global.
Arus keluar modal asing masih tinggi terutama di pasar surat utang dan sekuritas SRBI yang telah menyeret pelemahan rupiah 2% sepanjang tahun ini.
Di sisi lain, BI juga mencermati lonjakan inflasi harga volatile food akibat kegagalan panen padi, melesatkan harga beras.
Pada Februari, inflasi harga pangan bergejolak mencapai 8,5% year-on-year, dan secara bulanan naik 1,53%, melompat tinggi dibanding Januari yang cuma 0,01% month-to-month. Harga beras menjadi salah satu penyebab utama lonjakan inflasi harga pangan tersebut.
Alhasil, inflasi pada Februari lalu naik ke 2,75% year-on-year, tertinggi sejak November 2023. Sementara secara bulanan naik tajam 0,35% dari Januari sebesar 0,04%. Inflasi Februari itu masih di atas titik tengah target inflasi BI tahun ini yang dipatok di kisaran 1,5%-3,5%.
"Kami baru melihat ruang terbuka untuk penurunan BI rate pada semester II, bisa maju bisa mundur juga. Faktor paling utama adalah inflasi. Kami meyakini inflasi volatile food saat ini adalah temporer karena faktor musiman sehingga nanti akan turun sehingga kami yakini inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) masih akan di 3%, inflasi inti juga masih tetap rendah," kata Perry Warjiyo, Gubernur Bank Indonesia dalam konferensi pers pemaparan hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia di Jakarta, Rabu (20/3/2024).
(rui/aji)