Harga yang mengalami kenaikan bakal membuat penambang tersebut bernapas lega dan membuka kembali tambang nikel setelah selama ini menghentikan operasional untuk melakukan perawatan dan perbaikan.
Namun, Indonesia bakal merasakan dampak negatif dari kondisi defisit tersebut. Penyebabnya, kuota produksi dari 107 RKAB yang telah disetujui, yakni 152,6 juta ton, lebih rendah dari realisasi produksi bijih nikel sebesar 193,5 juta ton pada 2023.
Walhasil, smelter bakal kekurangan bahan baku untuk diolah, padahal, jumlah smelter diperkirakan terus bertambah karena sebagian besar masih dalam penyelesaian konstruksi sehingga kuota tersebut masih jauh di bawah kebutuhan smelter.
“Maka smelter akan defisit bahan baku untuk diolah. Bahkan, sebagian smelter diperkirakan berhenti jika tidak cukup bahan baku untuk diolah,” ujar Rizal.
Adapun, Kementerian Perindustrian mencatat sampai dengan Maret 2024, Indonesia memiliki total 44 smelter nikel yang beroperasi di bawah binaan Ditjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE). Lokasi terbanyak berada di Maluku Utara dengan kapasitas produksi 6,25 juta ton per tahun.
Jumlah tersebut belum termasuk 19 smelter nikel yang sedang dalam tahap konstruksi, serta 7 lainnya yang masih dalam tahap studi kelaikan atau feasibility studies (FS). Dengan demikian, total proyek smelter nikel di Indonesia per Maret 2024 mencapai 70 proyek.
Smelter nikel sekaligus menjadi yang terbanyak dibandingkan dengan pabrik peleburan dan pemurnian untuk mineral logam lainnya di Tanah Air.
Tambang Ilegal
Lebih lanjut, kondisi defisit pasok nikel di tengah kebutuhan yang tinggi untuk bahan baku pengolahan smelter tersebut ditengarai bakal memicu kemunculan praktik tambang ilegal atau illegal mining.
Hal ini, sebut Rizal, tentu bakal merugikan negara karena penambang tersebut tidak memiliki legalitas untuk memberikan pemasukan bagi negara melalui penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
“Hal ini bergantung negara yang diwakili oleh aparat penegak hukum [APH]; apakah bisa melakukan pengawasan dan penindakan di lapangan?” ujar Rizal.
Kementerian ESDM sebelumnya mengonfirmasi telah menyetujui pengajuan 107 RKAB untuk tambang nikel sampai dengan 18 Maret 2024, setelah lama dinantikan oleh kalangan pengusaha tambang.
Di lain sisi, Macquarie Group Ltd juga memperingatkan pasar nikel global dapat secara mengejutkan berbalik mengalami defisit tahun ini, jika pertumbuhan produksi Indonesia terhambat oleh lambatnya persetujuan izin RKAB.
Macquarie pada dasarnya masih berpegang pada estimasi bahwa pasar nikel dunia akan mengalami surplus hampir 40.000 ton tahun ini. Namun, proyeksi itu bisa berbalik arah jika Pemerintah Indonesia lambat dalam memberi persetujuan RKAB pertambangan.
Analis Macquarie, Jim Lennon, memproyeksikan pertumbuhan produksi nikel di Indonesia berisiko turun di bawah 13% pada tahun ini akibat keterlambatan izin RKAB.
“Ini adalah perubahan besar dari perkiraan kami baru-baru ini,” tulis mereka, dikutip Bloomberg.
Tanpa persetujuan RKAB tersebut, produsen nikel tidak dapat beroperasi, sehingga proses produksi pun bisa terhambat. Pemerintah berjanji bahwa izin-izin tersebut akan dituntaskan pada bulan ini.
Harga nikel – logam yang secara tradisional digunakan untuk memperkuat baja dan menjadi kunci transisi energi karena penggunaannya dalam elektrifikasi dan baterai – telah turun 40% sejak awal 2023 di London Metal Exchange (LME).
Per hari ini, Kamis (21/3/2024), nikel diperdagangkan di US$17.395/ton di LME, anjlok 2,67% dari hari sebelumnya.
(dov/wdh)