Kebutuhan pembiayaan korporasi 3 bulan ke depan (Mei 2023) juga diprediksi masih melambat dengan Saldo Bersih Tertimbang (SBT) 26,7% dari sebesar 31,4% pada bulan sebelumnya. Pesimisme akan peningkatan permintaan masyarakat menjadi salah satu penyebab prakiraan perlambatan tersebut (9,1%) selain masih lemahnya permintaan dari mitra dagang (45,5%).
Melengkapi itu, sebelumnya juga dilaporkan Indeks Penjualan Ritel pada Januari turun 0,6%, dibawah prediksi BI yang memprakirakan pertumbuhan 1,7%. Dibandingkan Desember, penjualan eceran pada Januari lalu juga mengalami kontraksi 4,4% month-to-month.
Konsumsi Lesu Sambut Lebaran?
Pemulihan konsumsi domestik agaknya memang masih belum menunjukkan greget meyakinkan. Jelang kedatangan bulan Ramadan dan perayaan Idul Fitri, secara tradisional menjadi “masa panen” para pebisnis dan korporasi seiring kenaikan belanja masyarakat.
Namun, sampai Februari lalu, para pengusaha terlihat masih mengerem ekspansi. Salah satu indikasi adalah masih lemahnya impor barang konsumsi. Pada Februari lalu, impor barang konsumsi anjlok 13,68% secara bulanan dan menurun 4,32% dibandingkan Februari 2022. Secara tahunan, ini menjadi penurunan ketiga dalam 4 bulan terakhir.
Bhima Yudhistira, Direktur CELIOS, menilai, penurunan kinerja impor tersebut bukan sekadar faktor musiman awal tahun. Pasalnya jelang kedatangan puncak festive seasons, pengusaha seharusnya sudah menyiapkan bahan baku barang konsumsi bahkan sejak Januari.
Pada Februari 2022, impor barang konsumsi juga turun (-23,85%, mtm) dan (-3,06%, yoy).
“Kalau sekarang [impor] masih turun, itu menjadi indikator banyak pelaku usaha yang masih belum pasti untuk meningkatkan kapasitas produksi. Dari sisi konsumen juga masih terhalang inflasi dan tekanan kenaikan bunga sehingga lebih selektif dalam berbelanja,” jelasnya Bhima.
Indeks Keyakinan Konsumen pada Februari masih di zona optimis 122,4 akan tetapi sedikit menurun dari bulan sebelumnya di posisi 123.
PPN Domestik Naik
Namun, ada sedikit sinyal bahwa pemulihan konsumsi domestik sudah berada di jalur yang tepat walau mungkin masih belum kencang. Salah satu indikasi, penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) domestik yang terus mencatat kenaikan selama tiga bulan tahun ini.
Mengutip laporan APBN Kita, pendapatan PPN domestik naik 121,26% year-on-year pada Januari-Februari 2023. Ditambah pertumbuhan PPN Impor sebesar 15,16%.
“Kinerja penerimaan PPN domestik ini didorong oleh aktivitas ekonomi yang kembali normal dan konsumsi masyarakat yang terus meningkat, serta kebijakan tarif 11% yang pada periode Februari 2022 belum berlaku. Selain itu, seiring konsumsi dalam negeri yang terus membaik mendorong kegiatan impor yang meningkat sehingga kinerja PPN Impor positif,” demikin tertulis dalam ringkasan eksekutif APBN Kita edisi Maret 2023.
Namun, ekonom memperingatkan, kenaikan PPN domestik itu masih bias low base effect sehingga belum bisa dilihat sebagai cerminan pasti pemulihan konsumsi rumah tangga telah sepenuhnya bangkit. “Apakah kenaikannya akan terus stabil atau temporer. Perlu diwaspadai kalau hanya temporer itu bisa terjadi pelemahan kembali pada semester II nanti,” kata Bhima.
Pemotongan Upah Buruh
Pada 2022 lalu, pertumbuhan konsumsi rumah tangga menyumbang 51,87% dari Produk Domestik Bruto (PDB) senilai Rp 19.588,4 triliun. Dampak pandemi Covid-19 yang telah menghantam pertumbuhan konsumsi rumah tangga sejauh ini masih belum mampu bangkit ke masa pra-wabah.
Tahun lalu, pertumbuhan konsumsi rumah tangga tercatat 4,93% year-on-year. Sebelum pandemi, periode 2012-2019, laju kenaikan konsumsi domestik rata-rata selalu di atas 5%.
Di tengah pemulihan konsumsi domestik yang masih terengah-engah, ada ancaman baru yang bisa memberatkan lajunya. Pemerintah melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 5/2023 membolehkan perusahaan memotong upah buruh hingga 25% dengan dalih dampak penurunan permintaan akibat perlambatan ekonomi global.
Pengurangan upah buruh yang jumlahnya hampir 20 juta orang, bisa berdampak pada daya beli buruh dan mengancam pemulihan konsumsi domestik. Ujung-ujungnya, pemulihan ekonomi juga yang jadi pertaruhan.
Ekonom menilai, pemangkasan gaji buruh ini bisa membawa konsekuensi serius bagi ekonomi. Terlebih, persyaratan perusahaan diizinkan memangkas gaji di antaranya adalah bila porsi biaya tenaga kerja minimal sebesar 15% dari total biaya produksi.
“Itu sudah jelas bila ongkos pekerja tidak mendominasi biaya total produksi, kenapa yang 15% [buruh] justru dikorbankan. Itu tidak logis,” kata Bhima.
Bhima mengingatkan, keberpihakan pemerintah pada buruh perlu dipertanyakan sejak hadirnya UU Cipta Kerja (Perpu Ciptaker), buruh terus diancam kesejahteraannya. “Wajar kita susah jadi negara maju, di mana-mana negara [seharusnya] hadir dengan meningkatkan porsi regulasi dan belanja perlindungan terhadap pekerja rentan, bukan sebaliknya. Ini kita sepertinya mau disamakan dengan Bangladesh tentang aturan tenaga kerja,” paparnya.
Tadjuddin Nur Effendi, Sosiolog dan Pengamat Ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada, menilai, memangkas upah pekerja juga bukan cara tepat meredam dampak perlambatan ekonomi global. Justru langkah itu berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi nasional yang mayoritas ditopang oleh konsumsi rumah tangga.
- dengan bantuan dari Rezha Hadyan
(rui/aji)