Setala, pakar sekaligus pengamat penerbangan Gatot Rahardjo mengatakan risiko nyata dari krisis Boeing terhadap maskapai di Indonesia adalah tersendatnya pasok pesawat terbang, terutama untuk unit-unit yang siap beroperasi.
Hal ini sudah terjadi sejak Boeing dihantam krisis mulai Januari 2024, yang memaksa produsen pesawat asal Amerika Serikat (AS) tersebut untuk memperlambat laju produksinya.
Pada saat bersamaan, kata Gatot, maskapai di Indonesia sendiri sudah didera isu kekurangan pasok pesawat terbang sejak tahun lalu; imbas dari gangguan pascapandemi yang belum sepenuhnya pulih.
Gangguan lainnya dipicu oleh sentimen geopolitik yang memengaruhi rantai pasok dari suku cadang pesawat terbang, sehingga banyak pesawat yang masih menjalani proses perawatan di bengkel atau fasililtas maintenance, repair and operation (MRO).
“Iya [krisis Boeing] sudah berdampak ke Indonesia dengan berkurangnya jumlah pesawat, terutama untuk pesawat yang siap beroperasi. Jika sebelum pandemi jumlahnya bisa mencapai 700-an pesawat, sekarang tinggal 400-an pesawat yang siap beroperasi,” ujar Gatot saat dihubungi, Senin (18/3/2024).
Belum lagi, lanjut Gatot, sekitar 400 pesawat yang tersedia di Indonesia saat ini memiliki umur perawatan yang tergantung dengan jenis pesawat dan frekuensi pemakaian yang termasuk dalam siklus hidup (life cycle) pesawat.
Jika penggantian suku cadang harus dilakukan, kata Gatot, perawatan tentu akan memakan waktu lebih lama karena jumlah suku cadang pesawat sudah makin berkurang. Walhasil, jumlah pesawat yang siap terbang atau dioperasikan (airworthy) berpotensi bakal kian berkurang.
Krisis kepercayaan terhadap Boeing Co makin meluas di industri maskapai penerbangan dunia yang membeli pesawat jet dari pabrikan AS itu.
Pekan lalu, maskapai raksasa global —mulai dari United Airlines Holdings Inc hingga Southwest Airlines Co, Delta Air Lines Inc, dan Alaska Air Group Inc — berkumpul dan berbagi cerita serupa tentang bagaimana masalah Boeing memengaruhi bisnis mereka.
Mereka mengeluhkan risiko kekurangan pesawat yang seharusnya diagendakan untuk diterima pada 2024, gegara Boeing memperlambat produksinya. Kerawanan itu pun diproyeksi tidak hanya akan terjadi pada pada tahun ini saja.
Pada acara investor JPMorgan, Chief Executive Officer United Scott Kirby mengatakan bahwa dia bahkan telah meminta Boeing untuk berhenti memproduksi jet 737 Max 10 untuk maskapai tersebut karena batas waktu untuk sertifikasi varian terbesar jet lorong tunggal telah menjadi sangat sulit dan tidak pasti.
Adapun, Southwest mengaku pesimistis akan menerima satu pun pesawat 737 Max 7 yang telah lama ditunggu-tunggu tahun ini, dan hanya akan menerima 46 model Max 8. Sebelumnya, maskapai ini memperkirakan akan menerima 79 pesawat pada 2024.
Southwest akhirnya terpaksa mengurangi kapasitas penumpang pada 2024 dan memangkas sebagian besar perekrutan —termasuk 50% lebih sedikit pilot dan 60% lebih sedikit pramugari — seiring dengan peninjauan ulang rencana pengeluarannya, sebagai respons terhadap gangguan pengiriman dari Boeing.
Teranyar, Korean Air Lines Co hampir mencapai kesepakatan signifikan untuk memesan jet berbadan lebar Airbus SE, alih-alih melanjutkan pesanan ke Boeing.
Korean Air juga berencana membeli sekitar 20 jet A350. Maskapai ini juga mempertimbangkan untuk menambah pesawat lorong tunggal A321neo, setelah melakukan evaluasi terhadap Boeing Co 777X.
Di Australia, Virgin Australia Airlines Pty Ltd juga telah menunda rencana untuk menerima pesawat baru dari Boeing, buntut dari masalah produksi. Maskapai tersebut memberitahu staf pada Jumat pekan lalu bahwa 31 pesawat Max dari Boeing yang mereka pesan tidak akan tiba sesuai jadwal.
(wdh)