Dengan diimplementasikannya B35, menurut Gapki, konsumsi CPO untuk biodiesel selama 2023 telah melampaui konsumsi untuk pangan dalam negeri.
Menurut Putra, dorongan penggunaan biodiesel besar-besaran di Indonesia makin ditunjang dengan kucuran dana Rp30 triliun—Rp50 triliun per tahun dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
“Hal ini sudah lama diprediksi akan memiliki efek samping. Tantangan utama biofuel adalah risiko alih guna lahan dan kompetisi dengan pangan sehingga klaim biodiesel sebagai energi hijau tidak bisa hanya diukur berdasarkan hitungan emisi sederhana,” terangnya.
Putra berpendapat, sebagai eksportir sawit nomor wahid, Indonesia sebenarnya masih memiliki ruang untuk mengalihkan sebagian produksi CPO untuk konsumsi domestik.
Namun, kepatuhan terhadap standar sawit berkelanjutan yang kuat tetap menjadi tolok ukur awal beserta dukungan peningkatan produktivitas, terutama bagi petani kecil.
“Dengan skala pengembangan biodiesel yang sangat besar, tanpa perencanaan yang matang imbas terhadap perluasan sawit kelihatannya sulit terhindarkan. Penggunaan biodiesel untuk mengurangi impor solar bisa dipahami dalam batas tertentu, tetapi rencana ekspansi biodiesel harus dilakukan dengan sangat berhati-hati karena imbas besarnya terhadap pangan, lingkungan, dan dana subsidi,” ujarnya.
Hanya Cukup Sampai B40
Ketua Umum Gapki Eddy Martono sebelumnya memperingatkan, meski Indonesia merupakan produsen sawit terbesar dunia, pasok CPO untuk bahan baku biodiesel hanya akan mumpuni untuk bauran maksimal B40.
Dia mengatakan jumlah kebutuhan CPO untuk biodiesel pada uji coba B40 bakal meningkat pada level 13 juta ton. Angka ini naik 2,4 juta ton dari kebutuhan untuk biodiesel sebanyak 10,6 juta ton pada 2023.
Perlu diketahui, konsumsi CPO dalam negeri digunakan untuk 3 kebutuhan, yakni pangan, oleokimia dan biodiesel. Dengan asumsi bahwa kebutuhan untuk pangan bakal naik pada kisaran 10 juta ton hingga 11 juta ton pada 2023, kebutuhan pasokan CPO untuk uji coba B40 dipastikan aman.
“Implementasi B40 kalau sampai B40 masih aman, dengan B40 kebutuhan sekitar sampai 13 juta ton untuk energi. Anggap saja nanti pangan naik 10 juta karena kemarin di angka 9 juta atau pada kisaran 10—11 juta ton [pada 2024], ditambah 13 juta ton masih aman,” ujar Eddy, akhir Februari.
Namun, Eddy menggarisbawahi pentingnya perhitungan yang matang dan hati-hati bila pemerintah pada akhirnya ingin meningkatkan bauran biodiesel melebihi 40%.
Terlebih, produksi sawit Indonesia diproyeksikan bakal stagnan pada 2024. Hal ini terjadi imbas tidak adanya ekspansi kebun sawit dan laju peremajaan sawit rakyat yang rendah.
Adapun, total produksi CPO dan palm kernel oil (PKO) pada 2023 adalah 54,8 juta ton. Angka ini meningkat 7,02% dibandingkan dengan produksi 2022 sebesar 51,2 juta ton.
Bila konsumsi dalam negeri yang saat ini mencapai 42,4% dari produksi terus meningkat, Eddy menyebut, penurunan volume ekspor bakal terjadi. CPO dari Indonesia padahal dibutuhkan untuk negara lain seperti Pakistan.
“Kemarin waktu saya dari Pakistan, memberikan paparan dan presentasi di salah satu universitas. Mereka memberikan pertanyaan dan khawatir karena konsumsi Indonesia naik dan produksi stagnan. Mereka sampaikan ‘bagaimana dengan Pakistan?’” ujarnya.
“Waktu ada larangan ekspor, Perdana Menteri Pakistan telepon Presiden Joko Widodo, mereka sangat membutuhkan. Jadi kita harus hati-hati dalam menaikan campuran ini. Harus diperhitungkan karena kita tidak hanya dibutuhkan dalam negeri, dunia juga membutuhkan. Walaupun kampanye negatif seperti itu, dunia masih membutuhkan sawit Indonesia."
Dalam kaitan itu, Gapki memproyeksikan adanya penurunan tingkat volume ekspor CPO serta derivatifnya dibandingkan dengan 2023 yang berada pada level 32,2 juta ton.
Eddy tidak menjelaskan dengan lengkap perihal proyeksi tingkat penurunan volume ekspor, tetapi memastikan bahwa volume ekspor tidak turun terlalu banyak dari 2023 dan masih berada di atas 30 juta ton.
“Ekspor 2022 kan 33 juta ton, 2023 adalah 32 juta ton, terjadi penurunan sedikit karena macam-macam situasi global. Kemungkinan tahun ini masih di atas 30 juta ton, tidak terlalu banyak turunnya, jadi turun sedikit di bawah 2023,” ujar Eddy.
Hal ini dipengaruhi oleh beberapa hal, salah satunya adalah perekonomian China yang belum pulih. Dalam kaitan itu, China memegang peranan penting dalam mempengaruhi tingkat volume dan nilai ekspor ekspor CPO.
Selanjutnya, penurunan volume ekspor juga diprediksi terjadi karena kebutuhan dalam negeri yang meningkat seiring dengan program mandatori biodiesel.
-- Dengan asistensi Sultan Ibnu Affan dan Dovana Hasiana
(wdh)