Riefky mengatakan, kondisi itu mempengaruhi arus modal keluar dari pasar obligasi Indonesia. Terlepas dari tingginya tekanan terhadap Rupiah, beberapa minggu terakhir pergerakannya cenderung stabil.
Hingga 17 Maret, Rupiah telah terdepresiasi sebesar 1,6% (ytd) dan cenderung memiliki performa lebih buruk dibanding beberapa negara seperti Rupee India, Peso Filipina, dan Yuan Tiongkok.
“Di sisi lain, Rupiah cenderung stabil dalam beberapa minggu terakhir setelah sempat terdepresiasi dan inflasi domestik masih dalam rentang target BI,” kata Riefky.
Sejak pertengahan Februari, arus modal keluar dari pasar obligasi tercatat sebesar US$ 1,39 miliar. Meskipun demikian, kepemilikan asing yang semakin rendah mengakibatkan intervensi yang dilakukan BI, dan permintaan domestik yang terjaga cenderung membatasi dampak dari arus modal keluar terhadap imbal hasil surat utang pemerintah.
Selanjutnya, arus modal masuk di pasar saham tercatat sebesar US$ 500 juta. Menurut dia, hal ini terjadi seiring terjaganya sentimen positif oleh investor terhadap prospek pertumbuhan Indonesia dan mulai meredanya ketidakpastian pasca momentum pemilihan presiden.
“Secara kumulatif, Indonesia mengalami arus modal keluar sebesar US$890 juta selama pertengahan Februari hingga pertengahan Maret 2024,” jelasnya.
Selain itu, cadangan devisa Indonesia terekam turun tipis ke US$144,04 miliar di Februari 2024, yang pada bulan sebelumnya US$ 145,05 miliar. Riefky menjelaskan, penurunan ini turut dipengaruhi langkah intervensi oleh BI yang dilakukan untuk menjaga stabilitas Rupiah dan pembayaran utang luar negeri pemerintah Indonesia.
“Kondisi inflasi dan nilai tukar saat ini dinilai membenarkan bahwa tidak ada keperluan mendesak untuk BI mengubah suku bunga acuannya,” pungkasnya.
(azr/lav)