Freeport sebelumnya telah resmi mengajukan relaksasi izin ekspor konsentrat tembaga hingga melewati Mei kepada pemerintah, sejalan dengan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) 2024.
EVP External Affairs Freeport Indonesia Agung Laksamana mengatakan pengajuan izin relaksasi ekspor tersebut mempertimbangkan faktor progres pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian atau smelter katoda tembaga di Manyar.
“[Smelter tersebut] baru bisa mencapai kapasitas penuh atau ramp up pada Desember 2024. Dengan demikian, konsentrat tembaga yang telah diproduksi tidak bisa serta merta langsung diserap penuh oleh smelter baru tersebut,” ujarnya kepada Bloomberg Technoz.
“Dengan kondisi ini, kami berharap adanya relaksasi izin ekspor konsentrat tembaga setelah Mei 2024, karena izin ekspor konsentrat tembaga saat ini hanya berlaku hingga 31 Mei 2024.”
Dalam sebuah kesempatan pertengahan Desember, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengisyaratkan pemerintah bisa saja kembali mengizinkan Freeport mengekspor konsentrat tembaga melewati tenggat Mei 2024, tetapi dengan syarat.
Dia menggarisbawahi anak usaha raksasa tambang asal Amerika Serikat (AS), Freeport-McMoRan Inc, itu mesti tunduk pada aturan maupun sanksi yang berlaku di Tanah Air.
"Relaksasi dapat diberikan, tetapi ada kompensasi yang mereka harus bayar kepada negara," ujarnya.
Bahlil mengatakan aturan tersebut sedianya telah ditegaskan oleh Kementerian ESDM dan juga Kementerian Keuangan, tanpa mendetailkan klausul mana yang dimaksud.
"Saya yakinkan bahwa pengusaha harus diatur oleh negara lewat aturan. Pengusaha harus diatur oleh negara lewat aturan. Jadi gaya-gaya lama enggak bisa lagi. Kalau mau ekspor, oke, tetapi you kenakan kompensasi yang harus ada negara dapat dari ekspor," ujar Bahlil.
Untuk diketahui, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan bahwa PTFI berpotensi harus membayar denda administratif akibat keterlambatan pembangunan smelter katoda tembaga di Manyar, Gresik, Jawa Timur yang mencapai US$501,9 juta atau setara dengan sekitar Rp7,78 triliun.
Taksiran nominal tersebut didapatkan berdasarkan realisasi kemajuan fisik fasilitas pemurnian tembaga Freeport di Manyar yang dinilai tidak sesuai dengan ketentuan.
Berdasarkan dokumen Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I-2023 yang dilansir akhir tahun lalu, BPK menemukan laporan hasil verifikasi kemajuan fisik 6 bulanan, sebelum adanya perubahan rencana pembangunan, tidak menggunakan kurva S awal sebagai dasar verifikasi kemajuan fisik.
Di sisi lain, Freeport tercatat baru membayar denda sebesar US$57 juta atau sekitar Rp884 miliar. Hal itu terungkap berdasarkan laporan keuangan kuartal III-2023 Freeport Mc-MoRan Inc, induk perusahaan PTFI, yang menuliskan bahwa pembayaran denda tersebut dilakukan pada 2021 sebesar US$16 juta.
Lalu, dengan adanya Keputusan Menteri ESDM Nomor 104.K/HK.02/MEM.B/2021, pemerintah kembali mengajukan perkiraan denda tambahan, yang selanjutnya dibayarkan Freeport senilai US$41 juta pada Maret 2022.
Adapun, proyek di Manyar akan menandakan investasi smelter kedua PTFI di Tanah Air. Smelter pertama dibangun pada 1996 dan dikelola oleh PT Smelting dengan nilai investasi US$3,1 miliar (sekitar Rp48 triliun asumsi kurs saat ini).
Smelter katoda tembaga single line yang diklaim sebagai terbesar di dunia tersebut dirancang untuk memurnikan konsentrat tembaga dengan kapasitas produksi 1,7 juta ton dan menghasilkan katoda tembaga hingga 600.000 ton per tahun.
Produk utama smelter tersebut adalah katoda tembaga, emas dan perak murni batangan, serta PGM (Platinum Group Metal). Derivatif lainnya mencakup asam sulfat, gipsum, dan timbal.
-- Dengan asistensi Dovana Hasiana
(wdh)