Kemplang Royalti
Sebelumnya, Menteri ESDM Arifin Tasrif menegaskan akan menunda penerbitan izin RKAB bagi perusahaan tambang batu bara jika tak kunjung membayar royalti.
Royalti tersebut merujuk pada kewajiban pembayaran PNBP yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 26/2022 Tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral.
"Sanksinya macet [RKAB]-nya," ujar Arifin saat ditemui di kantornya, awal Januari.
Arifin mengatakan salah satu kendala yang dihadapi pemerintah dalam menagih royalti batu bara tersebut berkutat pada isu manajemen perusahaan yang sulit ditemui.
"Ini masalahnya antara lain manajemen di kantornya masing-masing, benar enggak? Jangan-jangan mungkin di ruko [kantor hanya] dijaga 1 atau 2 orang [pegawai], enggak ngerti. Atau pemiliknya ke luar negeri, masak 5 atau 10 juta enggak mau bayar? Jadi seperti gitu," ujar dia.
Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM sebelumnya melaporkan setidaknya ada 117 perusahaan tambang batu bara yang belum membayar kewajiban royaltinya.
Namun, terhitung sejak awal tahun ini, Bambang Suswantono mengatakan sejumlah perusahaan telah membayar royalti kepada pemerintah sekitar Rp470 miliar.
"Sekitar Tahun Baru, ada 7-an [perusahaan] yang bayar, tetapi yang besar-besar ya. Namun, tetap kami ingatkan kalau dia tidak melengkapi [kewajiban pembayaran royalti], ya RKAB tidak keluar," ujar Bambang.
Di sisi lain, Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) sempat mengeluhkan risiko pembengkakan beban biaya operasional akibat tarif royalti sebesar maksimal 13,5%, di tengah tren pelemahan harga komoditas energi fosil itu.
Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia mengatakan sampai saat ini pengusaha batu bara masih tertekan oleh berbagai kebijakan yang memberatkan, khususnya terkait dengan tarif royalti yang makin mahal.
“Beban perusahaan akan makin berat jika menghadapi kondisi bearish, karena biaya operasional produksi makin meningkat, dan juga beban biaya akibat regulasi/kebijakan terutama tarif royalti yang tinggi makin membebani,” ujarnya saat dihubungi Bloomberg Technoz.
Hendra juga mensinyalir pengusaha batu bara keberatan dengan aturan kewajiban penempatan devisa hasil ekspor (DHE) sektor sumber daya alam (SDA) di bank nasional sebesar 30% untuk jangka waktu minimal 3 bulan.
“Jika kondisi itu terjadi, yang kita harapkan pemerintah mengkaji kembali regulasi yang bisa membebani pelaku usaha sehingga aktivitas ekspor terus terjaga dan perusahaan batu bara bisa investasi pada era transisi energi,” ujarnya.
Sekadar catatan, pemerintah menaikkan tarif royalti batu bara sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 26/2022 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang Berlaku pada Kementerian ESDM.
Berlaku sejak September tahun lalu, royalti batu bara diterapkan maksimal sebesar 13,5% dari harga alias naik drastis dari sebelumnya hanya 7% dari harga. Royalti berlaku untuk harga batu bara acuan (HBA) sama dengan atau lebih besar dari US$90/ton.
Di lain sisi, berkat kenaikan tarif royalti dan kewajiban setor dalam negeri untuk DHE sektor SDA, Kementerian Keuangan mengeklaim pembukuan pendapatan negara pada 2023 makin menghijau.
Setoran PNBP pada 2023 mencapai Rp605,9 triliun, di mana pemasukan dari SDA nonmigas - yang ditopang royalti batu bara - naik 15% dari Rp 120,1 triliun pada 2022 menjadi Rp 138 triliun pada 2023.
-- Dengan asistensi Dovana Hasiana dan Sultan Ibnu Affan
(wdh)