Premi Credit Default Swap (CDS) Indonesia per 17 Maret telah melandai ke kisaran 105,039, setelah sempat melambung ke posisi tertinggi selama 2023 pada 15 Maret lalu di posisi 110,65. Dalam laporannya, BI juga mencatat, berdasarkan data transaksi 13-16 Maret, pemodal asing mencatat pembelian (net buy) senilai Rp 10,31 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN) dan jual neto Rp 730 miliar di pasar saham. Secara keseluruhan, selama 2023 berdasarkan data setelmen hingga 16 Maret lalu, pemodal asing membeli neto Rp 39,67 triliun SBN dan jual neto Rp 520 miliar di pasar saham.
“Bank Indonesia terus memperkuat koordinasi dengan Pemerintah dan otoritas terkait serta mengoptimalkan strategi bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan guna mendukung pemulihan ekonomi lebih lanjut,” kata Erwin Haryono, Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia dalam pernyataan tertulis seperti dikutip Bloomberg Technoz, Ahad (19/3/2023).
Aset emerging market menarik
Para manajer investasi kakap di Wall Street seperti Franklin Templeton, Morgan Stanley Investment Management hingga State Street Corp, melihat kekacauan di pasar keuangan Amerika pekan lalu menyusul kegagalan beberapa bank, memperkuat pamor negara berkembang yang sudah lebih dulu berjibaku menaklukkan inflasi ketimbang Amerika dan Eropa.
Adopsi terhadap langkah pengendalian risiko yang lebih kuat terutama untuk aset pemerintah atau korporasi juga menawarkan imbal hasil yang lebih besar. “Kami berinvestasi lebih banyak saat ini,” ujar Chetan Sehgal dari Franklin Templeton seperti dikutip oleh Bloomberg News, Ahad (19/3/2023). Menurut Sehgal, ada banyak peluang di semua titik di pasar saat ini.
Aksi jual di emerging market beberapa waktu lalu kebanyakan dipicu oleh pergerakan sentimen di tempat lain. Sebagian besar adalah karena sentimen pasar dalam membaca lanjutan arah kebijakan The Fed menyusul krisis perbankan di Amerika maupun di Eropa.
Perlambatan ekonomi di Amerika pasti berdampak pada ekonomi global. Kebijakan pengetatan moneter yang tidak seagresif sebelumnya dan kelesuan dolar AS bakal mendongkrak daya tarik aset-aset di negara berkembang, menurut Jack McIntyre, fund manager Brandywine Global Asset Management.
“Tekanan [pasar] ini bukan dari emerging market. Orang-orang akan menjual aset berisiko apapun itu. Tapi, jika Anda memperpanjang sedikit time horizon investasi, ini akan menjadi hal yang positif karena membuat bank sentral tidak perlu lagi terlalu mengetatkan ekonomi,” kata McIntyre.
Pertumbuhan adalah kunci. Negara-negara berkembang masih diharapkan akan mencatat ekspansi pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan negara-negara maju, di mana itu akan meningkatkan capaian laba. “Kami masih menyukai saham-saham di emerging market di mana saat ini masih sangat underweight di level portofolio institusi,” kata Daniel Gerard, senior multi-asset strategist di State Stree yang mengelola dana investor senilai US$ 3,5 triliun.
“Mereka mulai melihat prospek pendapatan yang lebih baik dan mendapat dorongan dari demand yang lebih baik, serta keinginan untuk kembali ke normalitas portofolio,” jelasnya sambil menyebut saham-saham di bursa China sebagai salah satu “cerita bagus” di pasar keuangan global tahun ini.
Risiko perbankan di negara maju sejauh ini dinilai belum mempengaruhi prospek jangka panjang investasi aset-aset emerging market di mana valuasinya lebih menarik dibanding aset developed market, menurut UBS Global Wealth Management.
“Melihat perkembangan baru-baru ini, menurut saya itu tidak mengubah pandangan kami sama sekali,” ujar Themis Themistocleous, Head of EMEA. Dinamika pertumbuhan jauh lebih menarik di pasar negara berkembang. UBS memberi rekomendasi “positive” untuk saham emerging market dan obligasi dolar, juga “underweight” pada saham Amerika dan “neutral” pada ekuitas global.
Jitania Kandhari, Deputy Chief Investment Officer and Head of Macroeconomic Research for Emerging Markets Morgan Stanley mengamini hal itu. “Saat ini, ekses dalam sistem keuangan ada pada pasar negara maju, dengan suku bunga yang sangat rendah selama bertahun-tahun dengan pinjaman yang berlebihan. Pasar negara berkembang memiliki rasio utang lebih baik,” katanya.
- Tambahan dari laporan Selcuk Gokoluk, Bloomberg News
(rui)