Perlambatan surplus neraca perdagangan ini disebabkan oleh tingginya impor minyak mentah dan komoditas pangan, sebagai antisipasi melonjaknya permintaan pada Bulan Ramadan dan Lebaran. Di sisi lain, sementara ekspor terus menurun pada seluruh komoditas utama Indonesia seperti minyak sawit mentah (CPO), nikel, dan logam mulia.
"Surplus perdagangan ini terlemah dalam 9 bulan. Surplus perdagangan bulan lalu merupakan angka terendah sejak Mei 2023 yang sebesar US$400 juta," ujar Drewya.
Maka itu, Drewya mengaku terus mengantisipasi defisit transaksi berjalan yang semakin besar pada 2024, terutama mengingat terjadi perlambatan ekonomi global.
"Khususnya pada kuartal II 2024, dengan semakin banyaknya hari libur yang menyebabkan berkurangnya hari kerja, kami memperkirakan neraca perdagangan akan tetap lemah," kata Drewya.
Kondisi defisit transaksi berjalan yang semakin melebar, menurut dia, menyebabkan nilai tukar rupiah terus melemah. Dengan demikian, BI berpotensi mempertahankan level suku bunga acuan demi menjaga nilai tukar rupiah.
(lav)