Said mengatakan memahami bahwa industri padat karya mengalami kesulitan tengah melambatnya perekonomian global. Namun, bukan berarti pemotongan upah bisa dilakukan.
Menurutnya, pemotongan upah berpotensi membuat daya beli menurun yang imbasnya juga akan dirasakan oleh pengusaha, khususnya pengusaha yang menargetkan konsumen dari dalam negeri.
"Tetapi kalau kebijakannya memotong upah, jadi dobel. Pengusaha sulit, buruh juga sulit. Kalau daya beli turun, buruh tidak bisa membeli barang yang diproduksi pengusaha, justru akan menghantam lebih banyak," tegasnya.
Di sisi lain, menurut Iqbal perusahaan padat karya berorientasi ekspor selama ini sudah banyak menikmati bantuan dari pemerintah. Terlalu berlebihan apabila bantuan tersebut masih ditambahkan dengan kebijakan pemotongan upah pekerja.
"Perusahaan sudah menerima tax holiday, menerima keringanan bunga bank, tax amnesty, dan berbagai kemudahan yang lain. Sudah mendapat beragam kemudahan, sekarang upah buruh pun dipotong," tuturnya.
Lebih lanjut, sebagai upaya perlawanan terhadap Permenaker No. 5/2023 pihaknya akan tetap berunjuk rasa dan memperkarakan beleid tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Mereka juga sudah melaporkan kebijakan pemotongan upah ini ke Organisasi Perburuhan Dunia (International Labour Organization/ILO).
Pengamat kebijakan publik yang juga Ketua Umum Asosiasi Analis Kebijakan Indonesia Trubus Rahadiansyah juga menilai Permenaker No. 5/2023 bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur pengupahan pekerja.
Peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.
"Permenaker ini sudah melanggar asas kepatutan, dia bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada di atasnya. Dasar hukumnya tidak kuat dan kesannya dipaksakan," katanya kepada Bloomberg Technoz, Jumat (17/3/2023).
Lebih baik insentif fiskal
Pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Tadjudin Nur Effendi pun berpendapat kelonggaran untuk memangkas upah pekerja bukan cara tepat untuk meredam dampak pelambatan ekonomi global karena berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi nasional yang ditopang oleh konsumsi rumah tangga.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap pertumbuhan ekonomi nasional pada 2022 mencapai 51,87%. Komponen ini juga masih sanggup bertumbuh 4,93% secara tahunan pada 2022.
Ketimbang memangkas upah pekerja, Tadjudin menilai pemerintah lebih baik memberi insentif fiskal bagi perusahaan yang terdampak perlambatan ekonomi global berupa pengurangan atau pembebasan pajak bagi perusahaan dengan kriteria tertentu, khususnya perusahaan berorientasi ekspor yang tidak merumahkan pekerjanya.
"[Aspek] yang tergerus hanya penerimaan negara dari pajak. Risikonya menurut saya tidak terlampau besar dibandingkan dengan pemangkasan upah yang nilainya terbilang besar hingga 25%. Walaupun penerimaan negara berkurang, pemerintah setidaknya juga bisa memangkas pengeluaran yang tidak penting," ujarnya.
(rez/ggq)